TRIBUNNEWS.COM - Berikut ini profil DN Aidit, politikus yang menjabat sebagai pemimpin terakhir Partai Komunis Indonesia (PKI).
Dipa Nusantara Aidit atau DN Aidit lahir di Pulau Bangka, 30 Juli 1923.
Lahir dengan nama Achmad Aidit, dia akrab dipanggil "Amat" oleh orang-orang yang akrab dengannya.
Melansir perpusnas.go.id, di masa kecilnya, Aidit mendapatkan pendidikan Belanda dari ayahnya, Abdullah Aidit.
Baca juga: Profil AH Nasution, Jenderal yang Selamat dari Peristiwa G30S
Ayahnya adalah seorang pemimpin gerakan pemuda di Belitung dalam melawan kekuasaan kolonial Belanda dan setelah merdeka pernah menjadi anggota DPR (sementara) mewakili rakyat Belitung.
Abdullah Aidit juga pernah mendirikan sebuah perkumpulan keagamaan Nurul Islam yang berorientasi kepada Muhammadiyah.
Menjelang dewasa, Aidit mengganti namanya menjadi Dipa Nusantara Aidit.
Dari Belitung, Aidit berangkat ke Jakarta, dan pada tahun 1940 dia mendirikan perpustakaan "Antara" di daerah Tanah Tinggi, Senen, Jakarta Pusat.
Kemudian, Aidit masuk ke Sekolah Dagang (Handelsschool).
Dia belajar teori politik Marxis melalui Perhimpunan Demokratik Sosial Hindia Belanda (yang belakangan berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia).
Dalam aktivitas politiknya itu, dia mulai berkenalan dengan orang-orang yang memainkan peranan penting dalam politik Indonesia, seperti Adam Malik, Chaerul Saleh, Bung Karno, Bung Hatta, dan Mohammad Yamin.
Meskipun dia seorang Marxis dan anggota Komunis Internasional (Komintern), Aidit mengikuti paham Marhaenisme Soekarno dan membiarkan partainya berkembang tanpa menunjukkan keinginan untuk merebut kekuasaan.
Sebagai dukungannya terhadap Soekarno, dia berhasil menjadi Sekjen PKI hingga Ketua.
Di bawah kepemimpinannya, PKI menjadi partai komunis ketiga terbesar di dunia, setelah Uni Soviet dan RRT.
Aidit mengembangkan sejumlah program untuk berbagai kelompok masyarakat, seperti Pemuda Rakyat, Gerwani, Barisan Tani Indonesia (BTI), dan Lekra.
Baca juga: SOSOK 7 Pahlawan Revolusi yang Gugur dalam Peristiwa G30S
Dalam kampanye Pemilu 1955, Aidit dan PKI berhasil memperoleh banyak pengikut dan dukungan karena program-program mereka untuk rakyat kecil di Indonesia.
Dalam dasawarsa berikutnya, PKI menjadi pengimbang dari unsur-unsur konservatif di antara partai-partai politik Islam dan militer.
Kemudian pada tahun 1965, PKI menjadi partai politik terbesar di Indonesia dan menjadi semakin berani dalam memperlihatkan kecenderungannya terhadap kekuasaan.
Pada tanggal 30 September 1965, terjadilah tragedi nasional yang dimulai di Jakarta dengan diculik dan dibunuhnya enam orang jenderal dan seorang kapten.
Baca juga: Terjawab Film G30s PKI Tayang di TV Mana, Cek Kapan Ditayangkan 2022, Jadwal, Link dan Jam Berapa
Peristiwa ini lebih dikenal sebagai Peristiwa G30S.
Pemerintah Orde Baru di bawah Jenderal Soeharto mengeluarkan versi resmi bahwa PKI adalah pelakunya dan sebagai pimpinan partai, Aidit dituduh sebagai dalang peristiwa ini.
Tuduhan ini tidak terbukti, karena Aidit meninggal dalam pengejaran oleh militer ketika dia melarikan diri ke Yogyakarta.
Namun, ada beberapa versi tentang kematian Aidit.
Menurut versi pertama, Aidit tertangkap di Jawa Tengah lalu dibawa oleh sebuah batalyon Kostrad ke Boyolali dan ditembak mati.
Lalu versi yang lainnya mengatakan bahwa Aidit diledakkan bersama-sama dengan rumah tempat dia ditahan.
Hingga sekarang tidak diketahui di mana jenazahnya dimakamkan.
Riwayat Karir:
-Sekjen Partai Komunis Indonesia (PKI)
-Ketua Partai Komunis Indonesia (PKI)
-Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) Kabinet Kerja III (1962-1963)
-Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) Kabinet Kerja IV (1963-1964)
-Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) Kabinet Dwikora I (1964-1966)
(Tribunnews.com/Latifah)