Laporan Reporter Tribunnews.com, Rizki Sandi Saputra
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengecam keras tindakan beberapa aparat penegak hukum dalam tragedi di Stadion Kanjuruhan Malang yang menewaskan sedikitnya 127 orang.
Buntut dari tragedi itu, diketahui sebanyak 28 personel Polri yang terlibat telah diperiksa.
Kendati demikian, ICJR menyayangkan proses pemeriksaan yang malah diarahkan sebatas pemeriksaan kode etik.
Padahal kata Direktur Eksekutif ICJR Erasmus A.T. Napitupulu tragedi tersebut bukan hanya pelanggaran etik, melainkan tindak pidana.
"Karena jatuhnya korban jiwa terjadi karena penggunaan kekuatan yang berlebihan, yang mana penggunaan kekuatan berlebihan tersebut dapat terprediksi dampak fatalnya ketika dilakukan ruang dengan keterbatasan akses keluar seperti stadion," kata Erasmus dalam keterangan tertulisnya, Selasa (4/10/2022).
Baca juga: Komdis PSSI Sanksi Arema FC Buntut Tragedi Kanjuruhan: Main Tanpa Penonton hingga Denda Rp 250 Juta
Atas hal itu, ICJR menilai sangat penting bagi Polri untuk dapat memeriksa kasus ini dengan imparsial dan akuntabel, walaupun aktor-aktor yang terlibat adalah bagian dari kesatuan sendiri.
Bahkan kata Erasmus, tragedi yang menyebabkan kematian ini sudah seharusnya diusut melalui jalur hukum pidana dalam artian lain melalui pidana.
"Penggunaan kekuatan yang berlebihan atau excessive use of power yang tidak proporsional dan menyebabkan kematian, sudah seharusnya diusut menggunakan jalur pidana," ucapnya.
Bahkan, Polri sendiri telah mengakui mulainya pemeriksaan pelanggaran ketentuan Pasal 359 dan 360 KUHP yakni menyebabkan kematian karena kealpaan.
Pasal-pasal tersebut tentunya kata dia dapat digunakan, selain dengan Pasal 338 KUHP yang berkaitan dengan pembunuhan.
Tak hanya itu, beberapa kronologi yang beredar juga menunjukkan betapa buruknya kontrol konflik massa yang dilakukan Polri.
Padahal Polri merupakan penanggungjawab pengamanan termasuk di dalam stadion ketika peristiwa tersebut terjadi.
"Menyebabkan orang-orang menuju pintu keluar pada waktu yang sama dan menimbulkan kepadatan," tuturnya.
Terlebih dalam beberapa video yang beredar, terlihat adanya penggunaan gas air mata yang diketahui bertentangan pada standar pengamanan di lapangan sepak bola milik FIFA.
Gas air mata tersebut bahkan diarahkan kepada tribun penonton yang sebagian besar dari mereka bukanlah pihak yang menimbulkan kerusuhan sama sekali.
"Kematian pun terjadi karena banyak orang terinjak-injak dan mengalami sesak nafas pada saat keluar stadion karena menghindari gas air mata yang terus diberikan aparat," ucapnya.
"Bahkan, sempat beredar video yang menunjukkan supporter memohon pihak pengamanan untuk tidak melemparkan gas air mata kepada penonton," sambung Erasmus.
Dari kronologi tersebut, Erasmus berpendapat, terdapat kausalitas dari kematian para penonton tersebut, dan hal itu bukanlah permasalahan kode etik, melainkan sudah menjadi perbuatan pidana.
Kausalitas antara perbuatan dan selama ini, meskipun penggunaan kekuatan telah diatur di dalam regulasi internal Polri melalui Perkap Nomor 1 Tahun 2009, namun penggunaan kekuatan yang berlebihan tidak pernah diperiksa dan dipertanggungjawabkan oleh pihak kepolisian secara tegas.
"Peristiwa ini harus menjadi titik balik Kepolisian untuk dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya, karena tidak seluruh kesalahan yang dilakukan personil adalah pelanggaran kode etik," tutur dia.
Oleh karena itu, Erasmus secara tegas meminta Polri untuk mengusut anggotanya tak hanya melalui sidang etik tetapi juga melalui jalur hukum pidana.
"Berdasarkan hal-hal di atas, ICJR mendorong Kepolisian untuk secara tegas mengusut anggotanya yang telah melakukan pelanggaran pidana dan mempertanggungjawabkannya sesuai dengan jalurnya dan bukan hanya melalui jalur pemeriksaan etik," tukasnya.