Sultan Hamengku Buwono I untuk sementara waktu menempati Pesanggrahan Ambar Ketawang, Gamping.
Baca juga: Volume Kendaraan di Kota Jogja Diprediksi Naik Signifikan saat tol Bawen-Yogyakarta-Solo Beroperasi
Sultan pun mengawasi jalannya pembangunan keraton baru tersebut.
Proses pembangunan keraton berlangsung selama hampir setahun.
Kemudian tepat pada tanggal 7 Oktober 1756 (Kemis Pahing, 13 Sura 1682 TJ) Sultan Hamengku Buwono I beserta keluarga dan pengikutnya melakukan boyongan dari Ambarketawang menuju keraton yang baru selesai dibangun tersebut.
Dalam penanggalan Tahun Jawa (TJ), peristiwa ini ditandai dengan sengkalan memet: Dwi Naga Rasa Tunggal dan Dwi Naga Rasa Wani.
Beberapa masa berikutnya di gerbang tersebut dibentuk hiasan yang menggambarkan angka tahun atau sengkalan untuk menggambarkan persitiwa bersejarah ini.
Gambar-gambar tersebut dihias dan digambar di dinding penyekat di sisi dalam gerbang (banon renteng kelir).
Digambarkan ada sepasang naga bertaut ekor yang dapat dibaca sebagai kalimat Dwi Naga Rasa Tunggal, sementara di dinding samping luar gerbang terdapat bentuk sepasang naga bersisik merah yang menghadap ke selatan yang berbunyi Dwi Naga Rasa Wani.
Ornamen yang digambar tersebut mengisyaratkan angka tahun 1682.
Ini menjadi semangat “tunggal” dan “wani” yang diartikan sebagai semangat kemanunggalan, bahwa Yogyakarta akan berani menghadapi berbagai tantangan dalam kehidupan.
Peristiwa perpindahan atau boyongan tersebut menjadi pangkal tolak berkehidupan dan berkeadaban di Jogja.
Maka Pemerintah Kota Yogyakarta pun memilih momentum tersebut sebagai tanggal berdirinya Kota Yogyakarta..
Baca juga: Daftar Tempat Wisata di Jogja dengan Spot Klasik dan Instagramable
Filosofi Tema Perayaan HUT Jogja Ke-266
Pada tahun ini Jogja merayakan ulang tahunnya dengan tema "Sulih, Pulih, dan Luwih".