Laporan Wartawan Tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Bertindak sebagai Presiden dari Global Network on Electoral Justice (GNEJ), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI melawat ke Brasil untuk memantau proses pemilu menggunakan e-voting yang sudah diterapkan sejak tahun 1996.
Selepas memantau tahapan pemungutan suara di Brasil, Anggota Bawaslu RI Lolly Suhenty menerangkan penyelenggaraan pemilu di Indonesia mirip dengan negeri Samba.
Khususnya terkait aspek karakter luas wilayah dan geografis yang bervariasi.
"Sebenarnya, penyelenggaraan Pemilu di Indonesia memiliki kesamaan dengan di negeri Samba tersebut, khususnya pada aspek karakter luas wilayah dan geografis yang bervariasi," kata Lolly dalam keterangan tertulisnya, Selasa (11/10/2022).
Belajar dari Brasil soal penggunaan e-voting yang transparan dan akuntabel, menurutnya pemanfaatan teknologi informasi tersebut bisa dipertimbangkan untuk peningkatan sistem pemilu yang sederhana, efektif, efisien, dan berintegritas, serta bisa dipertanggungjawabkan ke publik.
Kepercayaan publik Brasil yang tinggi soal penggunaan e-voting, kata Lolly, akhirnya menular pada pemilih di sana yang datang ke TPS dengan suka cita.
"Coba bayangkan kemudahan dan kecepatan penyelenggaraan Pemilu di negeri sepak bola itu juga terjadi di republik ini, dimana Pemilu memang menjadi pesta rakyat," katanya.
Namun tantangannya, lanjut Lolly, Indonesia yang masih ada dalam era post truth atau kondisi politik pascakebenaran, membuat isu kecurangan selalu diembuskan pada setiap perhelatan pemilu.
Salah satunya saat penggunaan aplikasi Sistem Penghitungan Suara (Situng) untuk proses rekapitulasi suara berbasis online yang justru menimbulkan polemik di tengah masyarakat.
Hal tersebut juga dipicu oleh adanya kesalahan teknis penyelenggara pemilu 2019 silam.
Baca juga: Bawaslu Punya Waktu Terbatas Susun Indek Kerawanan Pemilu 2024
Kesalahan teknis tersebut memicu keraguan dan kecurigaan publik. Kondisi ini lantas dimanfaatkan oleh pihak yang tak bertanggung jawab dengan memobilisasi massa agar tercipta public distrust atau ketidakpercayaan publik yang akhirnya berujung pada delegitimasi hasil pemilu.
"Hal ini diperparah dengan hadirnya isu negatif dan kabar bohong selama pemilu sebagai konsekuensi dari era post truth," ungkap Lolly.