TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) dinilai harus turun tangan untuk membenahi karut marut di bidang hukum karena banyaknya oknum petinggi lembaga penegak hukum yang justru terjerat kasus.
Demikian salah satu poin dalam Seminar Nasional bertajuk “Darurat Peradaban Hukum: Sejauh Mana Kewenangan Presiden terhadap Lembaga Yudikatif” gelaran Peradi dan Universitas Krinawipayana (Unkris) pada Rabu (19/10/2022).
Seminar yang dihelat secara hybrid ini, menghadirkan tiga pembicara, yakni Hakim Agung Tahun 2011-2018, Prof. Dr. Gayus Lumbuun; Ketua Umum (Ketum) DPN Peradi, Prof. Dr. Otto Hasibuan, Wakil Dekan I Fakultas Hukum Unkris, Dr. Hartanto; dan Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie.
Gayus menyampaikan, kondisi peradaban hukum negeri ini sangat darurat dan mengkhawatirkan karena banyak kasus-kasus yang melibatkan sejumlah petinggi atau pejabat lembaga penegak hukum. Kondisi ini juga terjadi di lembaga yudikatif.
Baca juga: Hakim Binsar Gultom: Hakim yang Tangani Kasus Ferdy Sambo Perlu Pengamanan Ekstra
Adapun kasus termutakhir, yakni Hakim Agung Sudrajat Dimyati terkena operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK karena diduga menerima suap, pembunuhan Brigadir J yang melibatkan mantan Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo, hingga mantan Kapolda Sumbar, Irjen Pol Teddy Minahasa yang diduga terjerat kasus narkoba.
“Yang hari ini harus dilakukan adalah bagaimana presiden bisa membenahi lembaganya (yudikatif),” ucapnya.
Ia menjelaskan, Presiden harus turun tangan melakukan pembenahan lembaga yudikatif sebagaimana kewenangan yang dimiliki. Adapun yang tidak boleh adalah ikut campur dalam penanganan perkara yang menjadi kewenangan hakim.
“Presiden menugaskan kepada Menkopolhukam untuk melakukan reformasi hukum,” ujarnya.
Salah satu yang harus dilakukan, lanjut Gayus, yakni mengevaluasi semua hakim di semua tingkatan, yakni pengadilan negeri, pengadilan tinggi hingga Mahkamah Agung (MA). Ini untuk mencari hakim-hakim yang benar-benar berintegritas yang kemudian menjadi pemimpin di tingkatan tersebut.
Setelah terpilih, kemudian terapkan Maklumat MA Nomor 1 Tahun 2017, yang intinya, kalau ada hakim yang melanggar maka dua tingkat di atasnya juga harus dijatuhkan sanksi.
“Ini tidak pernah dijalankan. Sekarang kita tuntut presiden harus bisa mencampuri urusan ini untuk lembaga dengan cara evaluasi, sehingga kita punya wajah baru,” ucapnya.
Kedua, kata Gayus, presiden perlu membentuk Lembaga Eksaminasi Nasional agar putusan-putusan kontroversial karena adanya permainan hakim bisa ditinjau ulang. Ini juga untuk menyelesaikan para korban yang dirugikan akibat putusan menyimpang itu.
“Apa mau dibiarkan (karut-marut di peradilan), sementara kejahatan seksual saja presiden menerbitkan Perpu tentang Kebiri,” tuturnya.
Baca juga: Luhut: Presiden Jokowi Minta Tony Blair Promosikan Ibu Kota Nusantara ke Dunia Internasional
Ketua DPN Peradi, Prof. Dr. Otto Hasibuan, mengungkapkan, Peradi telah membuat catatan khusus, presiden berhasil dalam memimpin bangsa ini.
Namun, dalam catatan tersebut, dalam bidang hukum presiden masih sangat lemah. Hal ini telah disuarakan Peradi sejak dulu.
Otto berharap, seminar ini dapat memberikan sumbangsih pemikiran dalam bentuk rekomendasi penegakan hukum kepada pimpinan pemerintahan—dalam hal ini presiden—untuk segera membentuk tim khusus guna merespons darurat peradaban hukum.
Langkah reformasi juga diperlukan, demi menegakkan kembali hukum sebagai panglima tertinggi.
“Dalam kondisi seperti ini kami sepakat bahwa keadaannya sudah darurat. Kalau sudah darurat, presiden harus ambil alih dalam penegakan hukum ini. Presiden harus membuat policy dalam penegakan hukum di semua lini kementerian dan lembaga negara Indonesia,” ujar Otto. (*)