Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dalam rangka pemantauan dan penyelidikan Tragedi Kanjuruhan, Komnas HAM RI menemui keluarga korban tewas yang telah mencabut izin ekshumasi atau autopsi.
Komisioner Komnas HAM RI, M Choirul Anam, mengatakan pihaknya telah menemui Devi Athok yakni ayah dari dua korban Tragedi Kanjuruhan.
Pertemuan tersebut, kata Anam, dilakukan pada Kamis (20/10/2022) malam di rumah Athok di Malang didampingi Kades dan Camat setempat.
Dalam pertemuan tersebut, kata Anam, Athok menyampaikan sejumlah keterangan perihal pencabutan izin ekshumasi atau autopsi dua anaknya tersebut kepada Komnas HAM.
"Kami mendapatkan keterangan secara kronologis apa yang terjadi terus dinamika yang terjadi dalam peristiwa-peristiwa itu, termasuk juga para pihak yang terlihat dalam dinamika-dinamika itu," kata Anam di kanal Youtube Humas Komnas HAM RI pada Jumat (21/10/2022).
Baca juga: Temuan Komnas HAM Soal Batalnya Autopsi Terhadap Korban Tragedi Kanjuruhan: Tidak Ada Intimidasi
Pertama, kata Anam, memang betul Athok ingin melakukan autopsi atau ekshumasi terhadap dua anaknya.
Keinginan tersebut, kata Anam, karena Athok ingin tahu penyebab tewasnya dua anaknya tersebut dan juga mencari keadilan.
"Apalagi melihat kondisi jenazahnya, wajahnya menghitam ininya (bagian dada) menghitam. Itu yang ingin dia tahu makanya beliau bersemangat untuk melakukan autopsi (ekshumasi), "kata Anam.
10 Oktober 2022
Pada tanggal 10 Oktober 2022, kata Anam, Athok membuat draft pernyataan izin untuk ekshumasi jenazah dua anaknya yang menjadi korban Tragedi Kanjuruhan.
Draft pernyataan tersebut, kata Anam, dibuat dan telah difoto oleh kuasa hukum Athok.
Pernyataan tersebut, kata Anam, masih berbentuk draft karena ia mau bertemu dam meminta kesediaan Kades untuk turut menandatangani surat kesediaan ekshumasi atau autopsi tersebut.
11 Oktober 2022
Pada tanggal 11 Oktober 2022 pagi, kata Anam, Athok dihubungi personel Polres Malang yang menyatakan mau datang ke rumahnya untuk menanyakan perihal ekshumasi atau autopsi tersebut.
Di hari yang sama, kata Anam, empat orang personel kepolisian dari Polres Malang mendatangi rumah Athok.
Baca juga: Respons Polri Terkait Dugaan Intimidasi Keluarga Korban Tragedi Kanjuruhan hingga Batal Autopsi
"Pak Athok juga kaget, dia merasa bahwa itu masih draft kok ini sudah kemana-mana. Itu masih draft hanya difoto penasehat hukum dan aslinya masih dibawa dia, dan dia ingin minta tanda tangan Pak Kades dan kita konfirmasi kepada Pak Kades memang demikian yang terjadi. Dia ingin minta agar Pak Kadesnya mengetahuinya," kata Anam.
Menurut Anam saat itu, Athok merasa tidak nyaman dan khawatir karena didtangani oleh personel Polisi.
Di sisi lain, kata Anam, Athok juga tidak nyaman karena menurutnya masih ingin meminta kesediaan Kades untuk mengetahui perihal surat izin ekshumasi tersebut.
12 Oktober 2022
Sebanyak empat orang personel kepolisian dari Polres Malang, kata Anam, kemudian mendatangi rumah Athok lagi.
Polisi tersebut, kata Anam, menyodorkan surat persetujuan ekshumasi atau autopsi.
"Pak Athok juga kaget. Kok ini sudah ada surat mau autopsi. Walaupun dia juga tanda tangan. Dia tanda tangan persetujuan melakukan autopsi di tanggal 20 (Oktober)," kata Anam.
"Kita tanya di proses itu, waktu tanda tangan ada paksaan tidak? Tidak ada paksaan karena memang sejak awal dia komitmen mau melakukan autopsi," sambung Anam.
Baca juga: Hasil Survei LSI: Makin Masyarakat Ikuti Kasus Kanjuruhan, Semakin Tidak Percaya Bisa Diselesaikan
Namun demikian, kata Anam, Athok mengatakan pada tanggal 11 dan 12 Oktober Athok menghadapi pihak Kepolisian tanpa didampingi baik kuasa hukum maupun pendamping.
Athok, kata Anam, sudah mencoba menghubungi kuasa hukum dan pendampingnya untuk menemaninya menemui pihak kepolisian.
"Sehingga dia juga semakin khawatir. Ini kok ada polisi datang, pendampingnya, kuasa hukumnya ketika dihubungi memang tidak bisa hadir dengan berbagai alasannya di saat kepolisian datang. Itu semakin membuat dia khawatir," kata Anam.
17 Oktober 2022
Pada tanggal 17 Oktober 2022, kata Anam, sebanyak tujuh personel kepolisian dari Polda Jawa Timur dan Polres Malang kembali mendatangi rumah Athok.
Mereka, kata Anam, didampingi oleh Kades, Camat, dan perangkat pemerintahan setempat lain.
Saat itu, kata dia, Athok lagi-lagi coba menghubungi pendampingnya.
"Dia hubungi pendamping dan lain sebagainya juga tidak ada secara langsung, tidak datang ke situ, dia juga khawatir di soal itu," kata Anam.
Anam mengatakan, di hari yang sama keluarga Athok kemudian berembuk perihal kelanjutan proses ekshumasi atau autopsi tersebut.
Berdasarkan keputusan rapat atau rembukan tersebut, kata Anam, akhirnya keluarga Athok memutuskan untuk tidak melakukan ekshumasi atau autopsi kedua anaknya.
Satu di antara pertimbangannya, kata Anam, kondisi ibu Athok yang sudah berusia lanjut merasa khawatir.
"Makanya di tanggal 17 itu ada surat pernyataan intinya untuk membatalkan proses autopsi (ekshumasi)," kata Anam.
"Kita tanya bagaimana proses pembatalan itu? Apakah ada paksaan pembatalannya? Bagaimana proses membuat surat pernyataan itu? Ketika kita tanya, intinya Pak Devi Athok mengatakan bahwa keputusan secara substansi keputusan untuk membatalkan itu adalah keputusan keluarga, di samping itu juga mempertimbangkan kondisi ibunya yang sudah sepuh, sudah tua," lanjut Anam.
Athok, kata Anam, menulis tangan surat penolakan tersebut.
Ketika membuat surat tersebut, kata Anam, Athok didampingi pihak kepolisian dan disaksikan perangkat desa.
"Apakah itu diintimidasi untuk melakukan membuat surat penolakan? Itu tidak ada, karena itu keputusan keluarga katanya dan mempertimbangkan kondisi ibunya jadi dia tidak mendapatkan itu (intimidasi)," kata Anam.
"Proses tanggal 11, 12, 17 itu tidak ada pendampingan, itu juga buat dia khawatir. Makanya ada surat tanghal 17 dia melakukan pembatalan itu," sambung dia.