Sedangkan untuk menghadapi ancaman nonmiliter menempatkan lembaga pemerintahan di luar bidang pertahanan sebagai unsur utama sebagaimana Pasal 7 UU Pertahanan Negara.
Konsekuensi dari pernyataan tersebut seharusnya komponen cadangan yang dibuat Kemhan seharusnya hanya ditujukan untuk kepentingan membantu komponen utama yakni TNI dalam pertahanan negara dalam rangka menghadapi ancaman militer atau kemungkinan perang dengan negara lain.
Sedangkan untuk menghadapi ancaman selain ancaman militer, kementerian pertahanan tidak tepat untuk membentuk komponen cadangan, karena komponen utama menghadapi ancaman selain ancaman militer adalah lembaga di luar bidang pertahanan sebagaimana dimaksud Pasal 7 UU Pertahanan Negara.
"Dengan dasar pertimbangan ini hakim MK harusya mengabulkan gugatan pemohom agar komponen cadangan digunakan untuk hadapi ancaman militer saja (perang) dan tidak untuk ancaman non militer dan hibrida. Namun MK malah menolak gugatan pemohon padahal dasar pertimbanganya sudah jelas," katanya.
Keenam, Mahkamah Konstitusi juga kacau dan keliru dalam dasar konseptualnya di dasar pertimbangannya dan keputusanya.
Salah satunya MK menyebutkan bahwa Polisi adalah masyarakat sipil sehingga sama dengan ormas dan karenanya diklasifikasikan sebagai komponen pendukung sehingga pengaturan UU PSDN sudah benar.
Padahal dalam Pasal 30 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa “Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung.”
"Dalam negara demokrasi polisi bukan masyarakat sipil tetapi institusi sipil dan alat negara untuk menjalankan fungsi keamanan dan ketertiban masyarakat dan penegakkan hukum. Dengan demikian, pertimbangan dan putusan MK yg menyebutkan bahwa Polisi adalah bagian masyarajt sipil adalah sesat pikir," tandasnya.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan judicial review Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional (PSDN) yang berkenaan pengaturan penyelenggaraan Komponen Cadangan (Komcad). Gugatan dilayangkan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KonstraS) cs.
Putusan dibacakan hakim konstitusi saat sidang beradegan pembacaan keputusan perkara nomor 27/PUU-XIX/2021. Sidang ini berlangsung secara daring di gedung MK, Jakarta Pusat, Senin, (31/10/2022).
Ketua MK, Anwar Usman yang memimpin sidang, menyatakan menolak permohonan provisi para pemohon untuk seluruhnya. Dalam sidang, permohonan para pemohon berkenaan dengan Pasal 75 dan Pasal 79 UU nomor 23 tahun 2019 tentang PSDN tidak dapat diterima.
"Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya," ujarnya.
MK berwenang mengadili permohonan a quo. Para pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo.
"Permohonan provisi tidak beralasan menurut hukum, pokok permohonan para Pemohon berkenaan dengan norma Pasal 75 dan norma Pasal 79 UU 23/2019 adalah kabur, pokok permohonan para Pemohon selain dan selebihnya adalah tidak beralasan menurut hukum," kata Anwar.