News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

RUU KUHP

Komisi III DPR Minta RKUHP Dapat Sinkron dengan Hukum Adat

Penulis: Mario Christian Sumampow
Editor: Adi Suhendi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Suasana rapat kerja Komisi III DPR RI dengan Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej, membahas Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) hasil sosialisasi pemerintah di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (9/11/2022).

Laporan Wartawan Tribunnews, Mario Christian Sumampow

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi III DPR meminta pemerintah agar mensikronisasi RKUHP dengan living law atau hukum adat yang berlaku di masyarakat.

Anggota Komisi III Taufik Basari dalam rapat bersama Kementerian Hukum dan HAM memberi masukan soal menempatkan hukum adat bukan sebagai delik saja tapi juga sebagai sanksi adat.

"Kita ingin tempatkan living law dalam KUHP maka saya sarankan agar living law ini bukan sebagai delik adat melainkan sanksi adat," ujar Tobas, sapaannya, dalam rapat di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (09/11/2022).

"Sehingga bukan dimaksudkan sebagai delik yang tidak terulis yang bisa dijatuhkan seseorang, tapi sanksi adat," tambahnya.

Sehingga nantinya, jelas Taufik, hal ini bisa jadi pertimbangan sebagai hukum untuk memutuskan tindak pidana yang bisa juga dipidana dengan sanksi adat.

Baca juga: Komisi III DPR Usul Tambah Pasal Pidana Rekayasa Kasus di RKUHP

"Itu yang saya usulkan supaya bisa maknai kembali agar tidak tersandera dengan persoalan asas legalitas yang jadi problem ke depannya," ucap Tobas.

Tidak hanya Tobas, Nasir Djamil dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) pun menyebut hukum adat tidak boleh dianggap remeh.

Apalagi dalam praktiknya sulit untuk mengusut masalah atau sengketa yang bersinggungan dengan hukum adat.

Baca juga: Komisi III DPR Bakal Rapat dengan Menkumham Hari Ini, RKUHP Segera Disahkan?

"Di lapangan berhadapan dengan kepolisian, polisi bilang masuk KUHP, sementara masyarakat bilang harus diselesaikan dengan Perda Nomor 9 Tahun 2009. Kepala desa ngeluh bagaimana implementasi sengketa ini. Jangan sampai negara pengakuan di lapangan tidak sinkron dan kontradiksi," kata Nasir.

Karena itu, Nasir meminta pemerintah memfasilitasi keistimewaan yang dimiliki masyarakat adat, yaitu hukum adat.
Ia berharap ke depan tidak ada lagi saling singgung antara hukum adat dan hukum nasional.

Ditemui usai rapat, Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharief Hiarie, mengatakan masukan dari Anggota Komisi III DPR ihwal hukum adat ini memang jadi perdebatan.

Baca juga: Wamenkumham: Masukan Dewan Pers Soal RKUHP Segera Dibahas Dengan Komisi III DPR

Namun di satu sisi, tetap bakal dijadikan oleh pihaknya sebagai bahan diskusi supaya RKUHP sendiri dapat segera rampung dan sempurna.

"Memang ini debatabel. Pertama kata delik ada, itu tidak mesti pidana, perdata juga bisa. Tetapi kalau kita hanya orientasi pada sanksi adat, agak lucu juga. Ada sanksi tapi tidak ada deliknya, mestinya ada delik dulu baru ada sanksi," ujar Edward.

"Tapi ini saya kira jadi bahan diskusi, tapi kami menangkap apa yang disampaikan itu. Sehingga ya subject to discuss," katanya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini