TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Umum DPP Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Arnod Sihite menilai kebijakan migrasi Tv analog ke digital memberatkan masyarakat kecil temasuk kelompok buruh.
Pasalnya akses terhadap migrasi digital yang tidak merata di seluruh Indonesia menuntut masyarakat wajib mengeluarkan biaya tambahan untuk membeli set top box smentara kondisi ekonomi masyarakat saat ini sedang sulit.
Apalagi dalam konteks buruh yang saat ini tengah menghadapi ancaman gelombang PHK imbas resesi ekonomi global.
"Jadi sebenarnya ini kebijakan yang tidak tepat. Jangankan di daerah di luar Jawa, di Jabodetabek saja akses siaran digital ini tidak merata. Katanya ada distribusi set top box gratis, faktanya sampai hari ini tidak semua keluarga miskin mendapatkan itu. Ini Jabodetabek saja susah apalagi di luar-luar daerah yang jangkauannya sulit? Ini sangat memberatkan termasuk banyak buruh yang dirugikan akibat dari kebijakan ini ," ungkap Arnod kepada wartawan di Jakarta, Senin (14/11/2022).
Baca juga: KPI Siap Mengawal Analog Switch Off Menuju Penyiaran Digital Secara Nasional
Menurut Ketua Umum PP FSP PPMI-KSPSI tersebut kebijakan migrasi analog ke digital belum saatnya diterapkan ke Indonesia apalagi pemberlakuannya diwajibkan.
"Pertama harus diakui sosialisasinya sangat kurang. Sehingga begitu analog disuntik mati masyarakat yang selama ini bisa mengakses hiburan di televisi terutama di pedesaan tiba-tiba terhenti. Mereka migrasi tapi alatnya tidak punya karena harus membeli. Padahal mereka sedang susah. Ini negara sebenarnya mau apa? Justru masyarakat kecil tidak mendapat akses hiburan. Ini yang kami protes agar ini dikaji ulang," tegas Arnod.
Ia mengingatkan juga bahwa migrasi ini rentan menjadi lahan bancakan bisnis terutama terkait pengadaan alat Set Top Box.
Bayangkan kata Ketua PPK Kosgoro 1957 itu, setiap keluarga wajib membeli Set Top Box seharga Rp 300 ribu atau bahkan lebih itu saja sudah menyangkut uang triliunan rupiah.
"Harus diusut juga siapa pihak yang menjadi penyuplai alat ini jangan sampai pemerintah seolah olah berbisnis dengan rakyatnya. Ini harus kami katakan tegas karena potensi migrasi ini patut diduga menjadi lahan Bancakan bisnis pihak-pihak tertentu," pungkas Arnod.