TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Juru Bicara Tim Sosialisasi Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) Albert Aries memberikan tanggapan terhadap Indonesian Scholar Network on Freedom of Religion or Belief (ISFoRB) yang menyatakan bahwa delik agama di RKUHP dinilai masih sangat luas dan multitafsir.
Albert menegaskan, sebagai bentuk perwujudan dari hak untuk dijelaskan (right to be explained), pihaknya perlu memberikan penjelasan dan klarifikasi atas pandangan dari ISFoRB tersebut.
"Alasannya, perumusan Pasal Tindak Pidana terhadap Agama dan Kepercayaan yang diatur dalam Pasal 300 RKUHP masih diperlukan pengaturannya di Indonesia, karena isu agama dan kepercayaan merupakan hal yang perlu dijaga persatuan dan keharmonisannya di negara yang multireligi seperti Indonesia," kata Albert Aries dalam keterangannya kepada media, Selasa (29/11/2022).
Justru, menurutnya, perumusan Pasal 300 RKUHP yang berasal dari Pasal 156A KUHP ini telah disesuaikan berdasarkan masukan dari masyarakat sipil dengan mengadopsi ketentuan Pasal 19 ayat 2 Konvensi Hak-Hak Sipil dan Politik/ICCPR).
Pasal itu berbunyi, 'Segala tindakan yang menganjurkan kebencian atas dasar Kebangsaan, ras atau agama yang merupakan hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan harus dilarang oleh hukum.'
Oleh karena itu, lanjutnya, substansi tindak pidana yang diatur dalam Pasal 300 RKUHP yaitu permusuhan, kebencian, atau menghasut untuk melakukan permusuhan, Kekerasan, atau diskriminasi, terhadap agama, kepercayaan orang lain dianggap telah memenuhi prinsip lex certa dan lex stricta yang disyaratkan dalam Asas Legalitas yang berlaku universal.
"Sedangkan, mengenai pandangan dari ISFoRB yang mengatakan peluang penafsiran ekstensif mengenai “ancaman kekerasan” untuk membuat orang tidak beragama dalam Pasal 302 ayat 2 RKUHP, karena mengenai “ancaman kekerasan” juga sudah dijelaskan dalam Pasal 157 RKUHP (Buku I)," jelasnya.
Baca juga: Organisasi Advokat Apresiasi Pemerintah dan DPR yang Serap Masukan untuk RKUHP
Pasal itu berbunyi, 'Setiap perbuatan berupa ucapan, tulisan, gambar, simbol, atau gerakan tubuh, baik dengan maupun tanpa menggunakan sarana dalam bentuk elektronik atau nonelektronik yang dapat menimbulkan rasa takut, cemas, atau khawatir akan dilakukannya Kekerasan.'
Sebelum reses
Sementara itu, Ketua Komisi III DPR RI Bambang Wuryanto berharap Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) disahkan menjadi Undang-Undang sebelum masa reses.
Pasalnya, DPR akan memasuki masa reses pada 15 Desember 2022 mendatang.
"Saya tidak berani memperkirakan. Mudah-mudahan (sebelum DPR reses)," kata Bambang di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (29/11/2022).
Komisi III DPR dan pemerintah telah menyepakati RKUHP pada Pembicaraan Tingkat I dan tinggal menunggu pengesahan menjadi Undang-Undang dalam Rapat Paripurna DPR.
Bambang Pacul, sapaan akrab Bambang Wuryanto memastikan tak akan membahas ulang draf RKUHP, meski masih ada elemen masyarakat yang memprotes.
"Enggak (dibahas ulang)," ucapnya.