TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Keterwakilan perempuan di dalam penyelenggaraan pemilu dinilai masih belum maksimal.
Wakil Direktur Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) Hurriyah mengatakan hal itu dalam Netgrit Podcast bertema Keterwakilan Perempuan di Penyelenggaraan Pemilu dan Lembaga Legislatif, Rabu (30/11/2022).
"Keterwakilan numerik masih jauh ada peningkatan tapi masih jauh apalagi kebijakan kuota sudah sejak 2004," kata Hurriyah.
Padahal, menurut Hurriyah, kehadiran kaum perempuan dalam penyelenggara pemilu bisa memberikan warna dalam pengambilan keputusan.
Puskapol UI menilai ada perjuangan yang harus dibayar untuk mencapai harapan kesetaraan gender.
"Memang persoalan utamanya ada di partai karena kan parpol menjadi satu-satunya pemegang tiket untuk perempuan masuk ke dalam parlemen dan harus lewat pemilu dulu," tutur Hurriyah.
Hurriyah menegaskan selama ini terjadi uneven playing field atau ruang kompetisi yang tidak setara.
"Ada banyak persoalan ketika mau masuk ke parpol, kebijakan kuota itu lebih banyak digunakan partai untuk melanggengkan kepentingan mereka.'
"Mereka melakukan kebijakan afirmatif sebagai syarat pencalonan," tukasnya.
Namun ketika perempuan direkrut masuk ke dalam parpol kemudian ditinggalkan, dalam artian kader perempuan ini harus berjuang sendiri.
"Padahal ada kultur, modal ekonomi, jejaring, penguasaan resources, dan akses."
"Inilah yang membuat angkanya menjadi tidak imbang," ucap Hurriyah.
Studi terakhir yang dilakukan Puskapol UI, perempuan yang terpilih di 2019 adalah mereka yang memiliki hubungan kekerabatan dengan parpol.(*)