News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Kasus Minyak Goreng

Saksi Ahli Tak Bisa Simpulkan Ada Kerugian Perekonomian Negara dalam Perkara Minyak Goreng

Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Wahyu Aji
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Sidang lanjutan perkara dugaan korupsi persetujuan ekspor crude palm oil (CPO) dan turunannya, termasuk minyak goreng, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (7/12/2022).

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ekonom dan mantan Sekretaris Menko Perekonomian Lukita Dinarsyah Tuwo tidak bisa menyimpulkan adanya kerugian perekonomian negara dalam perkara dugaan korupsi persetujuan ekspor Crude Palm Oil (CPO). 

Dalam persoalan ini, dia menilai perlu juga melihat adanya manfaat positif dari kegiatan ekspor CPO terhadap perekonomian nasional berupa pungutan ekspor dan bea keluar yang mencapai Rp6 triliun pada Februari dan Rp8,69 triliun pada Maret 2022.

“Belum dapat disimpulkan ada kerugian perekonomian negara,” kata Lukita menjawab pertanyaan majelis hakim saat persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (7/12/2022).

Sebagaimana diketahui, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung (Kejagung) menggunakan perhitungan yang dilakukan oleh ahli dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Rimawan Pradiptyo, untuk menyampaikan dalam dakwaan mengenai adanya kerugian perekonomian negara dalam perkara ini. 

Sementara, Rimawan di persidangan telah meralat angka kerugian perekonomian negara yang dihitungnya menjadi Rp10,96 triliun dari sebelumnya Rp12,31 triliun.

Menurut Lukita, yang dihadirkan sebagai saksi ahli oleh terdakwa Lin Che Wei, menyatakan bahwa Tabel Input Output (I-O) yang digunakan Rimawan untuk menghitung kerugian perekonomian negara tidak cocok untuk industri yang berkarakteristik sangat mudah terpengaruh harga komoditas. 

“Dalam kaitan dengan minyak goreng, kita melihat bahwa harga komoditas minyak goreng sangat volatile. Dengan perubahan seperti itu, hubungan antara input dan output menjadi sangat rentan untuk berubah,” paparnya.

Selain itu, lanjut Lukita, perhitungan Rimawan menggunakan data Tabel Input-Output Badan Pusat Statistik Tahun 2016 dianggap tidak relevan, karena telah terjadi perubahan struktur yang sangat besar pada industri sawit.

Baca juga: Kasus Dugaan Korupsi Minyak Goreng: Ahli Akui Kelangkaan Terjadi karena Masalah Distribusi

“Sebagai contoh, berdasarkan data Kementerian Perindustrian, pada 2011 hanya ada 58 jenis produk hilir sawit, sementara saat ini sudah terdapat 185 produk. Harga sawit pun telah mengalami kenaikan tajam. Karena itu, akurasi ataupun validitas dari perhitungan ini menjadi dipertanyakan,” jelas Lukita.

Lukita menambahkan, Tabel Input-Output juga seharusnya memperhitungkan manfaat, yaitu berupa penerimaan negara dari ekspor sawit seperti pungutan ekspor dan bea keluar. 

“Baik biaya maupun manfaat seharusnya dipertimbangkan sehingga net benefit terlihat. Saya pikir, kalau mau fair posisi plus dan minus harus dihitung. Kalau tidak, hasilnya tidak adil,” tegasnya.

Lukita juga menyorot, penggunaan Tabel Input-Output yang memasukkan industri yang notabene bukan penerima manfaat DMO sebagai output. Menut dia, butuh kajian khusus untuk melihat dampak kerugian negara bagi rakyat kecil dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) secara spesifik. 

“Kita harus lihat, apakah membedakan dampak terhadap rakyat kecil dan UMKM bisa menggunakan tabel Input-Output yang eksisting? Saya rasa tidak. Harus ada kajian khusus berapa yang dikonsumsi rakyat kecil dan berapa yang dikonsumsi UMKM,” lontarnya.

Halaman
12
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini