Bahkan, tegasnya, hukuman mati dalam KUHP yang baru ini hanya merupakan sanksi yang bersifat khusus, tidak seperti pada KUHP yang lama hukuman mati merupakan sanksi pokok.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Nur Basuki Minarno berpendapat kekhawatiran beberapa negara terkait kebebasan dasar dan HAM yang diatur dalam KUHP yang baru sangat tidak beralasan.
Karena dasar pengaturannya, Nur Basuki, mengacu pada konstitusi Indonesia yaitu UUD 1945, bukan konstitusi negara mereka.
Juru bicara Tim Sosialisasi RKUHP, Albert Aries mengaku tidak mudah menyusun KUHP di negeri yang multi etnis, multi religi dan budaya.
Diakui Albert, produk KUHP yang baru ini belum sempurna dan mengajak masyarakat untuk ikut serta dalam menyosialisasikan.
Menurut Albert, KUHP yang baru disahkan DPR ini merupakan titik keseimbangan yang bisa dicapai dalam pembuatan landasan hukum pidana di tanah air.
"Dalam prosesnya banyak dilakukan reposisi, reformulasi, bahkan penghapusan untuk mencapai keseimbangan itu," ujarnya.
Setiap ada masukan dan aspirasi terkait KUHP yang baru, tegas Albert, tim selalu membahasnya dengan tetap mengacu pada Pancasila, UUD 1945 dan putusan-putusan MK terkait.
Anggota Komisi III DPR RI, Taufik Basari berpendapat HAM itu bersifat universal, tidak partikular sehingga norma HAM juga berlaku di Indonesia.
Berbicara tentang KUHP, jelas Taufik, pasti bicara soal HAM. Tugas negara adalah memastikan setiap warga negara terlindungi HAM-nya.
"Kejahatan yang terjadi pasti ada proses hukumnya, selain itu pencegahan terhadap potensi pelanggaran HAM juga dilakukan," ujarnya.
Menurut Taufik, HAM dan KUHP tidak bisa dilihat secara sempit, sehingga dalam melihat KUHP yang baru ini harus secara menyeluruh.
Taufik menilai KUHP baru jauh lebih baik daripada KUHP yang masih berlaku sekarang.
Sejumlah pasal karet yang berpotensi mengkriminalisasi masyarakat, tegas Taufik,
tidak lagi mudah diterapkan dengan sejumlah pengaturan dalam KUHP yang baru.
Koordinator Kontras, Fatia Maulidiyanti mengkritisi istilah pelanggaran HAM berat diubah menjadi tindak pidana berat terhadap HAM dengan ancaman pidana minimal yang dikurangi dari minimal 10 tahun-maksimal 25 tahun menjadi minimal 5 tahun-maksimal 25 tahun.
"Ini mendegradasi kekhususan tindak pidana HAM berat," tegas Fatia.
Dalam KUHP yang baru, Fatia berpendapat, pelaku pelanggaran HAM berat di masa lalu tidak bisa diadili karena ada pembatasan masa kadaluwarsa penuntutan kasus.