TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara Fahri Bachmid mengkritik kebijakan Presiden Joko Widodo terbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.
Menurut dia, kebijakan itu tidak berlandaskan moralitas konstitusional yang aksentuasinya bukan saja semata prosedur pembentukan undang-undang dengan memenuhi kaidah formalitas belaka.
“Tetapi hakikatnya pembentukan undang-undang itu wajib berpijak pada moralitas konstitusional yang berada dalam UUD 1945 itu sendiri, yaitu penghormatan terhadap prinsip kedaulatan rakyat secara penuh dengan menjadikan konstitusi sebagai "the supreme law of the land",” kata Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi dan Pemerintahan Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia (PaKem FH-UMI), dalam keterangannya pada Selasa (3/1/2023).
Pada 25 November 2021, MK memutuskan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja cacat secara formil.
Lewat Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, Mahkamah menyatakan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat, alhasil MK meminta UU ini diperbaiki dalam dua tahun, tapi kini Jokowi menerbitkan Perpu Cipta Kerja
Dengan alasan kepentingan yang memaksa karena kondisi ekonomi global yang harus cepat direspons pemerintah, salah satunya imbas perang Rusia - Ukraina.
Baca juga: Perppu Cipta Kerja Bakal Dibahas DPR Usai Reses
Fahri Bachmid berpendapat, alasan kegentingan yang memaksa dijadikan sebagai "Sine qua non" sesuai argumentasi pemerintah adalah sangat jauh dari kaidah syarat kegentingan secara doktriner hukum tata negara darurat.
"Dengan mengunakan instrumen peraturan darurat "rechtnoodverordening" sesuai norma Pasal 22 UUD 1945, sebab kondisi serta alasan pemerintah harus dapat sejalan dengan konsep keadaan darurat yang secara doktriner disebut syarat clear and present danger (bahaya yang jelas nyata,-red). Dengan demikian dalam menetapkan syarat tersebut tidak boleh asumtif serta kalkulatif," kata dia.
Prinsip dasar dan parameter yuridis dalam mengkonstruksikan suatu sifat dan keadaan kegentingan yang memaksa telah dirumuskan batasan konstitusionalnya oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009.
Bukan hanya menyangkut keadaan bahaya namun harus juga diartikan dalam keadaan yang harus memenuhi 3 (tiga) syarat, yaitu: (1) adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang;
(2) undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga menjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai;
(3) kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
"Jika merifer pada dalil presiden perihal ancaman ketidakpastian ekonomi global sebagai parameter kegentingan memaksa justru sedikit paradoks, sebab sebelumnya presiden telah menyampaikan bahwa kondisi perekonomian indonesia termasuk yang paling tinggi diantara negara-negara anggota G20 dengan capaian sebesar 5,72 persen pada kuartal III 2022, dan angka inflasi dalam posisi yang masih dapat dikendalikan, dengan demikian syarat objektif ini menjadi tidak "reasonable"" kata dia.
Fahri Bachmid mengatakan bahwa Perpu pada hakikatnya adalah keputusan presiden yang ditetapkannya dengan mengesampingkan DPR, karena adanya “kegentingan yang memaksa” yang berkekuatan undang-undang (berbaju peraturan), Keputusan presiden ini mengandung sifat kediktatoran konstitusional, sehingga kontrol legislasi maupun yudisial merupakan sebuah keniscayaan konstitusional.
Secara terminologi, ketentuan norma Pasal 22 UUD 1945 mengandung pengertian bahwa “kegentingan yang mernaksa” menjadi syarat kondisional yang harus terpenuhi, sebelum presiden mempergunakan kewenangan menetapkan perpu, jika ditinjau dari aspek ini.
Seharusnya pengawasan yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atas penerbitan perpu, di orientasikan pada apakah telah terpenuhi “keadaan kegentingan yang memaksa” ataukah tidak, sehingga sangat tepat jika DPR menilai substansi atau materi muatan dari perpu tersebut.
Seandainya dalam Sidang Paripurna DPR, presiden tidak bisa membuktikan serta menunjukkan adanya “ keadaan kegentingan yang memaksa”.
Maka tentunya menurut ketentuan norma Pasal 22 ayat (3) UUD 1945 Perpu tersebut harus dicabut, setidaknya Ada tiga alasan mengapa Perpu harus dicabut:
1) apabila dalam pembahasan Paripurna DPR diketahui bahwa perpu tersebut bertentangan dengan hakikat perpu yaitu tidak memenuhi Syarat “keadaan kegentingan yang memaksa”, maka presiden sebenarnya dinyatakan tidak berwenang menetapkan perpu:
2) perintah pencaburan ini untuk menghindari tindakan penyalahgunaan kekuasaan atau kemungkinan adanya tindakan kesewenang-wenangan yang dilakukan dengan instrumen hukum Perpu itu,
3) perpu yang dibuat secara sepihak oleh presiden, dengan konstruksi tersebut, diharapkan agar DPR dapat memainkan peran-peran signifikan secara konstitusional dalam fungsi "Checks and balances" dalam rangka mendinamisir pemerintahan yang terbatas "limited government"
Dia menilai pemerintah dan DPR gagal dalam menindaklanjuti putusan MK tersebut, sehingga mencoba mengakali dengan melakukan terobosan hukum yang tentunya mempunyai dampak buruk yang sistemik terhadap ekosistem negara hukum dan demokrasi.
"Ini sebuah terobosan yang sangat riskan dan destruktif dalam pembangunan sistem hukum, lebih jauh ini merupakan orkestrasi kebijakan dengan nuansa "Constitution Disobedience" berdasar dari hal tersebut, maka dapat dipastikan bahwa produk Perpu maupun UU dari Perpu ini tetap bermasalah dari sisi kaidah pembentukannya, sebab tidak terakomodasi kaidah "meaningful participation" itu sendiri, dan potensial untuk dapat dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi ke depan," kata dia.
Dia menambahkan, Mahkamah Konstitusi sebagai "the guardian of constitution, the guardian of democracy, the protector of citizen’s constitutional rights dan the protector of human rights,dengan kewenagan konstitusional dapat menguji keadaan serta syarat kegentingan yang memaksa dari sebuah Perpu sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945.
"Secara paradigmatik pengunaan kewenagan tersebut tentunya sejalan dengan spirit serta doktrin “checks and balances system” yang dianut dalam UUD NRI tahun 1945 itu sendiri," tambah Fahri Bachmid.