Dalam unggahan tersebut, Anies bercerita jika momen awal tahun ini dirinya bersama putranya menonton sebuah film dokumenter berjudul The Edge of Democracy.
Anies mengatakan bahwa film tersebut bercerita tentang erosi demokrasi dan perjalanan politik Luiz Inacio Lula da Silva sebagai presiden Brazil.
"Menghabiskan awal tahun bersama Mikail dengan menonton The Edge of Democracy (2019) di Netflix. Dokumenter yang dibuat oleh Petra Costa, sineas perempuan milenial dari Brazil, bercerita tentang erosi demokrasi dan perjalanan politik Lula da Silva sebagai presiden," tulis Anies dalam Instagramnya, Senin (2/1/2023).
Menurut Anies, film tersebut bercerita upaya penyingkiran terhadap Lula da Silva atas tuduhan korupsi.
"Dokumenter ini lalu bercerita tentang upaya penyingkiran terhadapnya melalui pengadilan yang kontroversial atas tuduhan korupsi walau pada 2021 Mahkamah Agung membatalkan hukumannya," ujarnya.
"Kejatuhan Lula dan erosi demokrasi di Brazil membuka jalan bagi Jair Bolsonaro," ucap Anies.
Mantan Gubernur DKI Jakarta itu mengaku setelah menonton film tersebut dirinya teringat buku How Democracies Die atau Bagaimana Demokrasi Mati.
Buku ini merupakan terbitan 2018, yang ditulis oleh ilmuwan politik dari Universitas Harvard, yaitu Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt.
"Menonton dokumenter ini mengingatkan pada buku How Democracies Die, bahwa ada tiga tahap untuk melemahkan demokrasi secara perlahan dan tak disadari," ungkap Anies.
Pertama, kata Anies, “kuasai wasitnya”. Ganti para pemegang kekuasaan di lembaga negara netral dengan pendukung status quo.
"Kedua, “singkirkan pemain lawan”. Singkirkan lawan politik dengan cara kriminalisasi, suap, atau skandal," ucap Anies.
Baca juga: Membaca Peluang Ganjar, Prabowo, dan Anies di Pilpres 2024
Ketiga, lanjutnya, “ganti aturan mainnya”. Ubah peraturan negara untuk melegalkan penambahan dan pelanggengan kekuasaan.
Anies menjelaskan pelemahan demokrasi secara perlahan seperti itu dapat sebabkan “shifting baseline syndrome”, yaitu perubahan secara bertahap dan perlahan hingga publik menjadi terbiasa dengan kondisi barunya yang sebenarnya buruk.
"Kondisi yang penuh oleh praktik yang dulunya dipandang tidak normal dan tidak boleh dinormalkan dalam demokrasi, tapi karena perburukannya berlangsung perlahan maka tanpa disadar dianggap kewajaran baru," tegasnya.