Laporan wartawan Tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menegaskan lembaga antirasuah bukan lemah dalam menangani perkara yang melibatkan Gubernur Papua Lukas Enembe.
KPK, kata Alex, mengedepankan kehati-hatian dalam menangani perkara, termasuk soal upaya penjemputan paksa.
Jika tak dilakukan hati-hati, KPK khawatir upaya penjemputan paksa akan memicu dan menimbulkan efek konflik horizontal masyarakat Papua.
"Bukan kami tidak tegas, bisa saja kami jemput paksa, tapi bagaimana dengan efek sampingannya nanti. Kalau masyarakat nanti yang dirugikan jadi konflik tentu tidak kami kehendaki," kata Alex dalam konferensi pers KPK, Kamis (5/1/2023).
"Untuk mengakses situasi kondisi di Jayapura tempat yang bersangkutan tinggal. Sekali lagi kami tidak menghendaki adanya efek-efek yang konflik horizontal dari penjemputan paksa yang bersangkutan," lanjutnya.
KPK menegaskan tak menghendaki adanya efek konflik horizontal dari upaya penjemputan paksa Lukas Enembe di Papua.
Baca juga: Tindaklanjuti Temuan PPATK, KPK Akan Telusuri Uang 50 Juta Dollar SGD Lukas Enembe di Rumah Judi
Sehingga saat ini KPK tak bergerak sendiri, dan terus berkoordinasi dengan aparat setempat dalam hal ini Kapolda Papua, Kodim, dan Kepala BIN Daerah Papua.
Koordinasi dengan tiga pihak tersebut diperlukan lantaran yang lebih memahami medan serta situasi dan kondisi khususnya di wilayah Jayapura, tempat tinggal Lukas Enembe.
"Dalam penanganan perkara ini, KPK tidak bergerak sendiri. Kami melakukan koordinasi dengan aparat setempat dari Kapolda Papua, Kodim, dan Kabinda," tuturnya.
"Tentu kami menunggu aparat setempat apakah kondisi memungkinkan untuk dilakukan penahanan termasuk penjemputan," terang dia.
Namun lebih lanjut KPK sendiri berharap pihak Lukas Enembe dapat kooperatif memenuhi panggilan pemeriksaan KPK di Jakarta.
"Kami berharap lewat penasihat hukumnya, supaya kooperatif," tutup Alex.
Sebagai informasi KPK telah menetapkan Lukas Enembe dan beberapa pihak lainnya sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap dan gratifikasi terkait pekerjaan atau proyek yang bersumber dari APBD Provinsi Papua.