News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Pelanggaran Ham Berat

SETARA Institute Sesalkan Pengakuan Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu Tanpa Pengungkapan Kebenaran

Penulis: Gita Irawan
Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Presiden Joko Widodo bersama Menko Polhukam Mahfud Md dan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu memberikan keterangan terkait pelanggaran HAM masa lalu di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (11/1/2023). Pemerintah Indonesia mengakui terjadinya 12 pelanggaran HAM berat di masa lalu dan akan memulihkan hak-hak korban secara adil dan bijaksana tanpa menegasikan penyelesaian yudisial. BPMI/Muchlis Jr

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - SETARA Institute menyesalkan pernyataan Presiden Jokowi yang mengakui dan menyesali adanya pelanggaran HAM berat pada 12 peristiwa di masa lalu tanpa pengungkapan kebenaran secara spesifik.

SETARA memandang pengakuan tersebut bagian dari aksesori politik kepemimpinan Jokowi dalam memenuhi janji kampanyenya saat di 2014 hendak mencalonkan diri sebagai presiden. 

Peneliti SETARA Institute Ikhsan Yosarie mengatakan pengakuan tersebut hanya memberi dampak politik kepada presiden.

Sebagai aksesori, kata dia, pengakuan dan penyesalan itu hanya akan memberikan dampak politik bagi presiden tetapi tidak memenuhi tuntutan keadilan sebagaimana digariskan oleh UU 26/2000 Tentang Pengadilan HAM.

Baca juga: Menkumham: Penyelesaian Yudisial Pelanggaran HAM Berat Bergantung Bukti

Menurut SETARA Institute, kata Ikhsan, tim yang hanya bekerja tidak lebih dari 5 bulan, dengan komposisi anggota yang kontroversial dan metode kerja yang tidak jelas, mustahil bisa merekomendasikan terobosan penyelesaian pelanggaran HAM berat secara berkeadilan. 

Tim tersebut, lanjut dia, hanya ditujukan untuk memberikan legitimasi tindakan bagi Presiden Jokowi membagikan kompensasi kepada para korban tanpa proses rehabilitasi yang terbuka dan tanpa mengetahui siapa sesungguhnya pelaku-pelaku kejahatan itu. 

"SETARA Institute menyesalkan ketiadaan pengungkapan kebenaran secara spesifik perihal siapa-siapa aktor di balik 12 kasus yang telah dianalisis oleh Tim PPHAM," kata Ikhsan ketika dikonfirmasi Tribunnews.com pada Kamis (12/1/2023).

Hal tersebut, lanjut dia, persis dan konsisten dengan yang telah disampaikan oleh Kemenkopolhukam bahwa Tim PPHAM memang tidak mencari siapa yang salah, namun lebih kepada menyantuni dan menangani korban untuk dilakukan pemulihan. 

Fakta tersebut, lanjut dia, adalah dampak dari ketiadaan mandat pemenuhan hak atas kebenaran (right to the truth) sebagai dasar untuk menentukan apakah suatu peristiwa bisa dibawa ke proses peradilan HAM atau direkomendasikan diselesaikan melalui jalur non yudisial.

"Padahal, pengungkapan kebenaran menjadi unsur yang sangat esensial dalam penuntasan pelanggaran HAM berat, sekalipun melalui mekanisme non-yudisial," kata dia.

"Ada lompatan logika (logical jumping) yang dipraktikkan oleh pemerintah, yaitu mengabaikan upaya pengungkapan kebenaran namun telah mengambil jalur non-yudisial sebagai mekanisme penyelesaian yang justru semakin berpotensi pada pengukuhan impunitas," sambung dia.

SETARA memandang cara kerja Tim PPHAM sengaja didesain untuk melahirkan aneka kontradiksi dan paradoks dalam diskursus dan gerakan advokasi penyelesaian pelanggaran HAM Berat masa lalu. 

Sekalipun berkali-kali Menkopolhukam Mahfud MD menyampaikan bahwa jalur yudisial tetap terbuka, kata Ikhsan, tetapi dengan keputusan politik presiden yang hanya menempuh jalur penyantunan pada korban maka keputusan Jokowi akan menjadi referensi dan preseden sikap lanjutan pada dua tahun terakhir kepemimpinannya atau bagi presiden selanjutnya.

Halaman
12
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini