Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ismoyo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ribuan buruh menggelar demonstrasi menolak isi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja atau Perpu Cipta Kerja.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal mengatakan, Perppu tersebut telah mengurangi hak-hak para pekerja di Indonesia.
"Hari ini kami para buruh lakukan deklarasi semangat juang. Rakyat tidak boleh menderita. Kita siap berjuang," ucap Presiden Partai Buruh Said Iqbal di tengah-tengah unjuk rasa yang berlangsung di kawasan Patung Kuda, Monas Jakarta, Sabtu (14/1/2023).
"Kita tolak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Tak hanya itu, kita juga meminta pemerintah tuntaskan kasus hak asasi manusia. Seperti kasus di Papua, Marsinah, dan kasus-kasus HAM lain," sambungnya.
Baca juga: Partai Buruh Sebut Outsourcing di UU Cipta Kerja Sebagai Perbudakan Modern
Unjuk rasa ini dilakukan sejak pukul 10.00 WIB hingga pukul 12.00 WIB.
Setelah Said Iqbal melakukan orasi, ribuan buruh yang mayoritas menggunakan atribut berwarna oranye ini langsung menyalakan bom asap atau Smoke Bomb, sembari berjoget dan bernyanyi.
Said Iqbal sebelumnya mengatakan, terdapat 9 isu utama yang menjadi titik berat yang menjadi tuntutan.
Kesembilan isu tersebut di antaranya meminta aturan upah minimum dikembalikan ke Undang-Undang Nomor 13 dan Peraturan Pemerintah Nomor 78.
Partai Buruh juga meminta aturan outsourcing kembali murni ke Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
Aturan pesangon juga diharapkan kembali ke Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
Partai Buruh juga menekankan pembatasan periode karyawan kontrak yakni antara 3 sampai 5 periode, kemudian jam kerja 5 hari dan dua hari libur dalam sepekan.
Kemudian adalah terkait cuti atau istirahat panjang selama kurang lebih 3 bulan, Said meminta ketentuan tersebut tidak dihilangkan.
Isu lainnya adalah soal tenaga kerja asing. Selanjutnya meminta tidak mempermudah pemutusan hubungan kerja alias PHK.
Terakhir atau yang kesembilan meminta agar sanksi pidana yang merugikan butuh harus dimunculkan kembali.
Itu termasuk dengan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan (PPSK), yang mana kaum buruh harus bisa mendapatkan Jaminan Hari Tua atau JHT 100 persen tanpa harus menunggu massa pensiun.