TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengultimatum istri Gubernur nonaktif Papua Lukas Enembe, Yulce Wenda, bersikap kooperatif kala dipanggil tim penyidik.
Kendati dia sebelumnya menyatakan menolak bersaksi untuk kasus dugaan suap dan gratifikasi suaminya itu.
"Sesuai ketentuan silakan nanti sampaikan langsung di hadapan tim penyidik," kata Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri, Senin (16/1/2023).
Namun demikian, Ali Fikri memastikan KPK tidak akan memaksa saksi keluarga yang tidak bersedia memberikan keterangannya.
Akan tetapi, tetap saja sebagaimana ketentuan berlaku, saksi yang dipanggil secara patut, wajib menghadiri panggilan penyidik.
"Kami ingatkan kepada saksi, hadir dulu ketika nanti dipanggil karena itu kewajiban dan sampaikan bila akan menolak memberikan keterangan sebagai saksi untuk tersangka LE (Lukas Enembe)," tandas Ali.
Yulce Wenda sendiri sudah masuk dalam daftar cegah KPK.
Istri Lukas Enembe itu dicegah bepergian ke luar negeri selama enam bulan, terhitung sejak 7 September 2022 hingga 7 Maret 2023.
Baca juga: Sosok Yulce Wenda, Istri Gubernur Papua Lukas Enembe yang Dicegah KPK Bepergian ke Luar Negeri
Adapun Yulce sudah beberapa kali dipanggil sebagai saksi dalam kasus Lukas Enembe. Namun, tak pernah memenuhinya.
Lukas Enembe ditetapkan tersangka dalam kasus dugaan suap dan gratifikasi proyek yang bersumber dari APBD Papua.
Ia beberapa kali mangkir dipanggil hingga kemudian berhasil diringkus di Jayapura pada Selasa (10/1/2023).
Setelah tiba di Jakarta, Lukas Enembe langsung ditahan meski sempat dibantarkan sehari di RSPAD Gatot Soebroto.
Dalam kasusnya, Lukas Enembe diduga menerima suap hingga Rp1 miliar serta gratifikasi yang mencapai Rp10 miliar.
Lukas diduga menerima suap Rijatono Lakka selaku Direktur PT Tabi Bangun Papua. Suap itu diduga diberikan karena Lukas menyetujui pengerjaan sejumlah proyek oleh perusahaan Rijatono.
Rijatono Lakka dijerat dengan 5 ayat (1) atau Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 13 UU Tipikor. Sementara Lukas Enembe dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau b atau pasal 11 dan pasal 12B UU Tipikor.