Laporan Wartawan Tribunnews, Mario Christian Sumampow
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menjelaskan state capture corruption ialah penyebab dari turunnya Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia dari angka 38 ke 34.
State capture corruption, jelas Bivitri, ialah di mana banyak pihak yang punya kepentingan bisnis turut dalam menentukan dan melahirkan kebijakan.
“Misal pajak batubara nol di UU Ciptaker, karena siapa? Karena yang bikin UU punya perusahaan batu bara. Itu kan state capture corruption,” kata Bivitri ketika ditemui di sebuah hotel kawasan Jakarta Pusat, Kamis (2/2/2023).
Sehingga, Bivitri tegas mengatakan pemerintah harus lebih dulu membongkar dari dalam ihwal penguasa-penguasa yang mengendalikan pemerintahan supaya nantinya IPK Indonesia tidak semakin anjlok.
“Jadi, apa yang harus diperbaiki? Ya dibongkar oligarkinya. Oligarki dibongkar dan kemudian pengambilan keputusan yang penuh dengan benturan kepentingan itu harus diminimalkan sekali bahkan meski lebih strict kita. Pejabat engak boleh punya benturan kepentingan dengan bisnis” sambungnya.
Baca juga: IEA Prediksi Era Kejayaan Batu Bara Bakal Segera Berakhir
Lebih lanjut, turunnya IPK ini juga ia sebut sebagai bentuk Indonesia yang kembali turun ke titik nol.
Ini mengingat IPK yang ada saat ini sama persis angkanya seperti ketika Presiden Joko Widodo (Jokowi) pertama kali menjabat.
“Akhirnya turun ke titik nol. Waktu pak Jokowi menjabat, segini juga skornya. Jadi dia menjabat segini, naik sedikit, terus turun lagi segini. Jadi seperti ke titik nol,” jelasnya.
Untuk diketahui, IPK diterbitkan Transparency International Indonesia (TII) setiap tahun.
Pada IPK tahun 2022 yang dirilis pekan ini, Indonesia meraih skor 34.
Angka itu turun empat poin dari IPK Indonesia tahun 2021. Indonesia menempati urutan ke-110, turun 14 tingkat dari tahun sebelumnya.
IPK Indonesia kalah dari sejumlah negara tetangga. Pada tahun 2022, Singapura meraih IPK 83, Malaysia 47, Timor Leste 42, Vietnam 42, dan Thailand 36.