TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Istri mantan Wakaden B Biro Paminal Propam Polri Arif Rachman Arifin, Nadia Rahma tak kuasa menahan air matanya usai menghadiri sidang nota pembelaan atau pledoi suaminya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (3/2/2023).
Nadia menangis menceritakan karier suaminya yang hancur terseret kasus obstruction of justice pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat.
Sambil terisak Nadia menuding mantan Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo telah menghancurkan karier sang suami dan kehidupan keluarganya.
Padahal, sebelum adanya kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir Yosua, Sambo menurutnya adalah seorang pimpinan yang baik.
Baca juga: VIDEO Arif Rahman Singgung Rantai Komando & Relasi Kuasa di Polri: Tak Mudah Menolak Saat Diperintah
Nadia tak menyangka Sambo tega membohongi dan menjerumuskan para anak buahnya, termasuk Arif.
Akibat perbuatan Sambo itu, kata Nadia, karier suami dan kehidupan keluarganya hancur.
"Saya tidak mengira bahwa Pak Ferdy Sambo akan tega dengan anak buahnya semuanya ini, menyeret semua dengan kebohongan dan menjerumuskan kita ke dalam jurang yang luar biasa dan menghancurkan. Saya rasa bukan hanya menghancurkan karier tapi menghancurkan kehidupan," kata Nadia sembari menangis.
"Baik suami dan juga keluarganya semua saya rasa semua hancur adanya kasus ini," sambungnya.
Dengan terseretnya Arif ke dalam perkara ini, Nadia mengaku sedih lantaran anak-anak mereka masih kecil dan membutuhkan kasih sayang seorang ayah.
Arif tak hanya ditahan atas perkara obstruction of justice, tapi juga dihadapkan pada sidang etik Polri.
Nadia menyebut perkara obstruction of justice pembunuhan Brigadir Yosua yang menyerat sang suami merupakan pukulan berat.
"Pastinya sedih karena anak-anak juga masih kecil dan terus juga terutama anak saya masih ada yang sakit ya, jadi butuh papanya yang pasti, sedangkan kalau udah ditahan gini kan dan juga sidang etiknya juga sudah ya. Jadi ya berat sih yang pastinya berat," ujarnya.
Nadia mengklaim Arif selama ini bekerja sebagai anggota Polri dengan niat ibadah. Tak ada niat jahat dalam diri suaminya itu.
Baca juga: Minta Dibebaskan, AKBP Arif Rachman Punya Anak yang Masih Butuh Biaya Pengobatan Hemofilia Tipe A
"Saya tahu suami saya tuh selama ini kerjanya selalu bilang kerjanya niatnya ibadah, itu aja, dia jadikan kerja itu sebagai ibadah tidak pernah ada untuk berpikiran macam-macam yang memang untuk yang aneh-aneh. Alhamdulilah selama ini kerjanya memang lurus-lurus aja," ucap Nadia.
Nadia juga mengaku sempat khawatir dengan keselamatan anak-anaknya usai sang suami memberikan kesaksian mengenai peristiwa yang sebenarnya di muka persidangan.
Ia takut anak-anaknya bernasib sama dengan Brigadir Yosua.
"Terus waktu itu saya khawatir dengan keselamatan anak-anak karena kesaksian dari Mas Arif waktu itu jadi semakin memojokkan Pak Ferdy Sambo. Jadi khawatir kalau nanti ada tindakan nekat atau apa kepada keluarga kami," tuturnya.
Nadia kemudian mencurahkan kekhawatirannya kepada Arif dan menyarankan agar anak-anak mereka bersembunyi untuk sementara waktu.
"Jadi betul waktu itu saya menyarankan sama Mas Arif untuk sembunyi dulu karena takut ada apa-apa sama anak anak akibat dari itu," pungkasnya.
Dalam kasus ini Jaksa penuntut umum (JPU) menuntut Arif Rachman Arifin dengan hukuman pidana satu tahun penjara dan denda Rp10 juta subsider tiga bulan kurungan lantaran dinilai merusak barang bukti elektronik terkait pembunuhan Brigadir J.
Arif dinilai terbukti melanggar Pasal 49 jo Pasal 33 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Arif sendiri saat membacakan pledoinya juga sempat menangis. Mulanya, suara Arif terdengar lirih saat membacakan permohonan maaf kepada orang tua dan mertuanya.
Baca juga: Sambo Murka karena Data CCTV Brigadir J Masih Hidup Ditonton, AKBP Arif Rachman: Saya Tertekan
Permintaan maaf yang sama juga disampaikan kepada istrinya.
"Untuk ayahanda, saya tahu bagaimana ayahanda berharap kepada saya, dan takdir harus seperti ini. Saya berharap ayahanda bisa ikhlas dan Allah segera memulihkan rasa kecewa di hati ayahanda," kata Arif saat membacakan pleidoi.
Dengan suara lirih, Arif masih menguatkan hati dengan optimistis akan masa depannya. Ia berjanji akan menjadi lebih baik bila Tuhan mengizinkan.
"Kendati demikian, percayalah, saya masih berusaha untuk menjadi anak dan mantu yang bisa dibanggakan. Saya berjanji di masa yang akan datang, saya akan lebih berupaya lagi. Semoga Tuhan masih memberi kesempatan kepada saya dan semoga ayahanda berdua selalu memberikan bimbingan dan dukungan serta arahan kepada saya," kata dia.
Lalu suara lirih Arif lalu berubah menjadi terbata-bata. Dia menangis saat menyatakan isi hatinya kepada ibu, mertua dan istrinya.
Bagi dia, mereka adalah wanita-wanita hebat yang membuatnya tetap tegar menjalani proses persidangan.
"Untuk ibunda, orang tua dan mertua saya, wanita-wanita yang paling saya cintai di dunia ini, tempat surga saya terletak, pelindung hati saya. Ikatan saya terhadap cinta kasih merupakan kekuatan saya untuk bisa berdiri tegak memasuki ruang sidang dan duduk di kursi," ungkapnya sambil menangis.
Arif Rachman mengaku tidak pernah berpikir akan duduk di persidangan seperti sekarang ini.
Tidak pernah terbesit ia akan turut terseret dalam kasus pembunuhan Yosua, padahal saat itu mengaku hanya bekerja sebagaimana mestinya.
"Tidak pernah sekalipun terbesit dalam pikiran saya bahwa ini akan terjadi dalam hidup saya," kata Arif masih suara lirih.
"Saya hanya bekerja. Bagi saya bekerja adalah ibadah, menjalankan ibadah dengan bekerja. Sebagai manusia biasa terkadang saya lemah, saya putus asa," katanya.
Arif juga mengaku tidak habis pikir mengapa dirinya menuai fitnah ketika ia dengan itikad baik untuk bekerja.
"Saya hilang nalar, mengapa saya menuai kebencian, ketika saya selalu mengisi pikiran saya dengan hal baik. Saya buntu akal, mengapa saya menuai keji, ketika saya mencintai institusi ini dalam setiap tarikan napas," imbuh yang kembali menangis.
Pleidoi Irfam Widyanto
Selain Arif, terdakwa lain yang kemarin juga membacakan pledoinya adalah mantan Kasubnit I Subdit III Dittipidum Bareskrim Polri AKP Irfan Widyanto.
Dalam pledoinya, Irfan meminta majelis hakim membebaskannya dari segala dakwaan jaksa dalam perkara obstruction of justice atau perintangan penyidikan kasus kematian Brigadir Yosua.
"Saya mohon dari lubuk hati yang paling dalam atas kebijaksanaan dan kearifan majelis hakim yang saya muliakan, bahwa keputusan majelis hakim yang terhormat akan menjadi tolok ukur bagi Komisi Kode Etik Profesi Polri terkait apakah saya masih pantas mengabdi untuk negara dengan tetap menjadi seorang Prajurit Bhayangkara," kata Irfan.
"Dengan mendasari kepada perbuatan saya, alasan, situasi dan kondisi serta Sidang Kode Etik Profesi yang akan saya hadapi setelah mendapatkan putusan dari majelis hakim yang terhormat, mohon agar majelis hakim yang saya muliakan dapat menyatakan saya tidak bersalah dan membebaskan saya dari semua dakwaan yang didakwakan kepada saya," sambungnya.
Irfan pun berharap dapat segera kembali bertugas sebagai anggota Polisi. Sebagaimana ia mengabdi selama 18 tahun.
Masih dalam pledoinya, Irfan menegaskan tidak punya niat, kemauan dan pengetahuan untuk melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya.
Irfan didakwa berperan mengamankan DVR CCTV di Kompleks Polri Duren Tiga di sekitar rumah dinas Ferdy Sambo pada 9 Juli 2022.
"Apa yang saya lakukan semata-mata melaksanakan apa yang diperintahkan oleh atasan saya baik langsung maupun tidak langsung yang merupakan perintah yang benar untuk dilaksanakan dengan tujuan untuk membantu Penyidik Polres Metro Jakarta Selatan dalam menangani perkara tembak menembak antara ajudan Kadiv Propam yang menyebabkan tewasnya Almarhum Brigadir Yosua Hutabarat," kata Irfan.
Di sisi lain Irfan juga menceritakan bagaimana perjuangan dia untuk menjadi seorang perwira polisi kepada majelis hakim.
"Saya hanyalah anak seorang buruh pabrik yang bermimpi pun tidak berani untuk menjadi polisi. Karier saya dimulai dari bawah dari seorang bintara tahun 2004," kata Irfan.
Dia mengaku mendapatkan prestasi KPLB (Kenaikan Pangkat Luar Biasa) atas kinerjanya. Sehingga bisa mengenyam pendidikan di Akpol dan menjadi seorang perwira.
"Atas usaha saya yang terus menerus untuk bekerja dengan baik serta doa dan harapan kedua orang tua saya yang tulus dan tanpa henti, telah membawa saya sampai menjadi seorang perwira Polri," ungkapnya.
"Seorang alumni Akademi Kepolisian yang lulus dengan predikat lulusan terbaik. Saya selalu menjunjung tinggi ajaran orang tua saya bahwa kejujuran adalah yang utama, karena kalau hanya kebodohan pasti bisa diperbaiki, kesuksesan bisa digapai dengan usaha keras, namun kebohongan adalah sumber petaka," sambungnya.
Atas pesan orangtuanya tersebut, Irfan mengaku selalu menjalankan tugas dengan baik.
"Tidak ada artinya manusia dengan harta kekayaan, dengan pangkat dan jabatan yang tinggi, namun tidak jujur. Dengan demikian saya selalu menjalankan tugas dengan sangat hati-hati, demi menjaga nama baik institusi tempat saya mengabdi," ujarnya.
Di akhir pledoinya Irfan berpesan kepada keluarganya agar tetap tegar menghadapi cobaan atas terjeratnya ia dalam kasus dugaan pembunuhan berencana terhadap Brigadir Yosua.
"Kepada istri dan anak-anak, kalian harus tetap tabah dan kuat menghadapi semua ini," kata Irfan.
Ia juga menyebut cobaan ini merupakan risiko dari tugas yang kini harus ia hadapi.
"Seperti yang Papa selalu bilang kepada kalian bahwa setiap tugas mempunyai risiko, dan inilah risiko tugas yang harus Papa hadapi. Terima kasih untuk keluargaku tercinta, Kalian Hebat!" ucap dia.
Merasa Tertipu Ferdy Sambo
Dalam kasus ini Adhi Makayasa Akpol 2010 itu merasa tertipu dan terjerumus ke dalam polemik oleh mantan Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo.
"Semua orang tertipu oleh Bapak Ferdy Sambo. Atas dasar informasi yang sesat tersebut, kami semua ikut terjerumus dalam badai besar ini. Apakah ini salah kami?" ujar Irfan.
Adapun dalam kasus ini Irfan merupakan satu-satunya anggota Polri yang belum menjalankan sanksi etik.
Ia merupakan satu-satunya terdakwa kasus obstruction of justice dugaan pembunuhan berencana Brigadir Yosua yang tidak diberlakukan pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH).
Dalam poin yang meringankan tuntutan Jaksa Penuntut Umum menganggapnya berprestasi karena menerima penghargaan Adhi makayasa atau lulusan Akpol terbaik tahun 2010.
Diharapkan dapat memperbaiki perilakunya di kemudian hari.
Irfan diproses hukum lantaran dinilai mengumpulkan dan merusak CCTV di sekitar lokasi TKP pembunuhan Brigadir J yang berlokasi di rumah dinas Sambo di Kompleks Polri, Duren Tiga.
JPU menuntut Irfan dengan pidana satu tahun penjara dan denda Rp10 juta subsider tiga bulan kurungan.
Irfan dinilai terbukti melanggar Pasal 49 jo Pasal 33 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. (tribun network/igm/riz/aci/dod)