TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah resmi menetapkan 1 Ramadan 144 H jatuh pada Kamis, 23 Maret 2023, dan 1 Syawal 1444 H jatuh pada Jumat, 21 April 2023.
PP Muhammadiyah juga menetapkan 1 Zulhijah 1444 H jatuh pada Senin 19 Juni 2023.
Dengan demikian, warga Muhammadiyah akan merayakan lebaran Iduladha pada 28 Juni 2023.
Baca juga: PP Muhammadiyah Sampaikan Duka Mendalam Atas Musibah Gempa di Turki dan Suriah
Kepastian tersebut disampaikan oleh Sekretaris PP Muhammadiyah, Muhammad Sayuti dalam konferensi pers Maklumat PP Muhammadiyah
“Penetapan Hasil Hisab Ramadan, Syawal, Zulhijjah 1444 H di kantor PP Muhammadiyah, Yogyakarta, Senin (6/2/2023).
Ketua PP Muhammadiyah Bidang Tarjih dan Tajdid Syamsul Anwar mengatakan penetapan 1 Ramadan ini memiliki potensi sama dengan pemerintah.
Namun awal Syawal dan Zulhijah ada potensi berbeda dengan pemerintah.
Baca juga: Soal Penentuan 1 Syawal 1443 H, Kemenag: Secara Hisab Dimungkinkan Berhasil Dirukyat
Dengan demikian, lebaran Idulfitri dan Iduladha Muhammadiyah kemungkinan juga akan berbeda dengan pemerintah.
Hal ini terjadi lantaran Muhammadiyah memakai metode hisab hakiki wujudl hilal. Sementara pemerintah berpedoman pada kriteria MABIMS.
”Potensi perbedaan ada pada awal Syawal dan Zulhijah ini karena menurut kriteria MABIMS bulan bisa dilihat pada tinggi bulan sekurang-kurangnya 3 derajat dan elongasinya 6,4 derajat,” kata Syamsul.
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir mengingatkan jika terjadi perbedaan penetapan hari-hari penting itu, umat Islam Indonesia diminta untuk saling menghargai, menghormati, dan tasamuh.
Haedar menyebut perbedaan di tubuh umat Islam bukan suatu hal yang baru.
Baca juga: Batas Akhir Puasa Syawal 2022, Bolehkah Mengqadha Puasa Syawal di Bulan Lain?
”Kita punya pengalaman berbeda dalam hal 1 Ramadan, 1 Syawal 10 Zulhijah sehingga perbedaan itu jangan dianggap sebagai sesuatu yang baru," kata Haedar.
”Artinya kita sudah terbiasa dengan perbedaan lalu timbul penghargaan dan kearifan,” ungkapnya.
Dalam urusan perbedaan, Haedar mengimbau umat Islam untuk menjunjung tinggi penghargaan dan kearifan ketika menjalankan praktik beragama.
Menurutnya, perbedaan adalah hal yang biasa sehingga jangan dianggap sebagai sumber perpecahan.
”Jangan juga dijadikan sumber yang membuat kita umat Islam dan warga bangsa lalu retak, karena ini menyangkut ijtihad yang menjadi bagian denyut nadi perjuangan perjalanan sejarah umat Islam yang satu sama lain saling paham, menghormati dan saling menghargai,” imbuhnya.
Kesempatan berjumpa dengan Ramadan dan Syawal 1444 H, sambung Haedar, harus dimanfaatkan sebagai momen ibadah agar lebih dekat dengan Allah SWT, berbuat baik dalam kehidupan, dan membangun diri sebagai mukmin yang lebih baik dari sebelumnya.
Guru Besar Sosiologi itu juga meminta agar perbedaan yang dimiliki menjadi kekuatan bagi muslim secara pribadi dan umat Islam secara kolektif.
Bagi warga Muhammadiyah, ia meminta agar tidak perlu khawatir atas maklumat penetapan tersebut. Sebab kata Haedar, hal itu dibangun atas dasar keilmuan dan keislaman yang kokoh.
”Muhammadiyah dengan hisab wujudl hilal yang dipedomaninya itu sangat kokoh dengan dasar Al Qur’an, hadis nabi yang kuat ditambah ijtihad. Sehingga pengambilan keputusan itu sungguh memiliki dasar keagamaan yang kuat. Jadi bukan hanya dan tidak betul kalau itu bersifat rasionalitas ilmu semata-mata,” kata Haedar.(tribun network/dod)