TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Penasihat Hukum Jhon Irfan Kenway alias Irfan Kurnia Saleh, terdakwa kasus dugaan korupsi Helikopter AW-101, Pahrozi SH MH mengaku sangat kecewa sekaligus sedih setelah membaca penyataan Kepala Bagian Pemberitaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Ali Fikri di sejumlah media massa, Selasa (7/2/2023).
Ali Fikri mengklaim KPK memberikan kesempatan yang sama kepada terdakwa dan penasihat hukumnya untuk melakukan pembelaan secara yuridis namun bukan dengan cara serampangan membangun narasi kontraproduktif dengan penegakan hukum itu sendiri.
“Pernyataan tersebut secara jelas menunjukkan ‘sesat pikir’, sebab jelas-jelas diatur dalam ketentuan hukum bahwa pembelaan secara yuridis terdakwa itu adalah hak terdakwa atau penasihat hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 182 ayat (1) KUHAP,” kata Pahrozi di Jakarta, Rabu (8/2/2023).
Pasal 182 ayat (1) KUHAP menyatakan:
a) Setelah pemeriksaan dinyatakan selesai, penuntut umum mengajukan tuntutan pidana; dan
b) Selanjutnya terdakwa dan/atau penasihat hukum mengajukan pembelaannya yang dapat dijawab oleh penuntut umum, dengan ketentuan bahwa terdakwa atau penasihat hukum selalu mendapat giliran terakhir.
”Oleh karenanya, pembelaan secara yuridis itu bukan diberikan oleh KPK, melainkan sudah menjadi hak yang melekat pada diri seorang terdakwa yang diberikan oleh hukum itu sendiri. Hak membela diri itu lahir karena hukum, bukan diberikan KPK seperti yang disebutkan,” jelas Pahrozi.
Pernyataan Ali Fikri tersebut, kata Pahrozi, justru menimbulkan kesan justru KPK sendiri yang serampangan, membuat pernyataan yang kontraproduktif dengan hukum yang berlaku.
“Sebenarnya KPK melalui JPU (Jaksa Penuntut Umum) di persidangan juga mempunyai hak yang sama jika ingin menanggapi secara yuridis terhadap apa-apa yang dikemukan oleh terdakwa atau penasihat hukumnya di nota pembelaan (pledoi), yakni dengan mengajukan tanggapan atau replik atas pledoi,” terangnya.
Padahal, kata Pahrozi, majelis hakim telah mempersilakan kepada JPU KPK pada hari Rabu (8/2/2023) ini apabila ingin mengajukan replik atas pledoi terdakwa.
“Namun faktanya JPU KPK menyatakan tidak ingin replik dan tetap pada tuntutan sebelumnya. Alangkah eloknya jika KPK juga menanggapi setidaknya terhadap 3 (tiga) hal yuridis yang kami sampaikan pada pledoi,” pintanya.
Baca juga: KPK Bantah Ada Pesanan dari Jenderal Gatot Nurmantyo Usut Kasus Korupsi Helikopter AW-101
Pertama, jelas Pahrozi, terkait tuduhan bahwa terdakwa “mengatur atau mengendalikan ULP (Unit Layanan Pengadaan) sehingga terdakwa memenangkan tender proyek pengadaan Heli AW-101.
“Di mana jelas secara yuridis dalam Pasal 1 angka 8 juncto Pasal 15 Peratura Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, menentukan yang berwenang memilih atau menentukan pihak penyedia barang dan jasa adalah ULP. ULP ini adalah unit organisasi pemerintah yang diangkat oleh pejabat yang berwenang. Sebab itu, bagaimana mungkin terdakwa selaku pihak swasta tidak memiliki kewenangan dalam memilih dan menetapkan pihak penyedia barang ‘in casu’ Helikopter AW-101,” papparnya.
Kedua, kata Pahrozi, terhadap uang negara sebesar Rp139,43 miliar pada rekening bersama penyedia barang dan TNI AU yang saat ini berjumlah kurang lebih Rp153 miliar, terbukti di persidangan telah disita oleh KPK.
“Padahal jelas-jelas TNI AU telah menyurati KPK, menyatakan uang tersebut merupakan ‘uang negara’ berdasarkan Peraturan Panglima TNI Nomor 23 Tahun 2012 dan bukan uang hasil kejahatan. Secara yuridis, penyitaan tersebut jelas melanggar Pasal 50 UU No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Pihak mana pun dilarang melakukan penyitaan terhadap uang atau surat berharga milik negara/daerah, baik yang berada pada instansi pemerintah maupun pihak ketiga,” tegasnya.
Ketiga, lanjut Pahrozi, mengenai ketiadaan kewenangan bagi seorang Pegawai Neger Sipil (PNS) KPK untuk menghitung sendiri kerugian negara dalam kasus tindak pidana korupsi, khususnya kasus Heli AW-101, di mana hal ini secara yuridis justru melanggar Undang-Undang (UU) No 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), melanggar Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No 4 Tahun 2016.
“Termasuk sudah jelas dalam Penjelasan Pasal 32 UU No 31 Tahun 1999 juncto UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor),” tandasnya.