TRIBUNNEWS.COM - Pemerhati anak sekaligus mantan komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Retno Listyarti menilai proses hukum untuk pelaku kekerasan seksual pada anak di Indonesia sudah bagus, setidaknya dalam dua tahun terakhir.
Namun, pemulihan psikologis korban kekerasan seksual pada anak dinilai masih sangat kurang.
Hal itu disampaikan Retno saat menjadi narasumber dialog Overview Tribunnews dengan tema "Ibu Muda Lecehkan 17 Anak", Kamis (9/2/2023).
Retno menilai proses hukum kasus kekerasan anak memiliki kemajuan, terutama dari Polri dan Majelis Hakim di pengadilan.
"Kepolisian kini sudah memiliki unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA), sehingga tidak lagi Satreskrim. Begitu ada PPA ini penanganannya bagus, mereka dilatih, jadi tahu bagaimana menghadapi anak-anak korban ketika dimintai keterangan dalam BAP," ungkap Retno.
Baca juga: Pengakuan Ibu Muda di Jambi Pelaku Pelecehan, Sebut Dirudapaksa 8 Bocah hingga Diinjak Kepalanya
Selain itu sudah ada UU Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) yang dipakai ketika anak menjadi pelaku kekerasan seksual.
Sementara saat anak menjadi korban, kepolisian juga akan menggunakan UU Perlindungan Anak.
Apresiasi juga disampaikan Retno kepada Majelis Hakim di pengadilan.
"Berdasar catatan saya di 2022, pelaku seksual pada anak hukumannya menjadi berat-berat."
"Kalau dia itu guru, orangtua, itu kan orang terdekat korban, kalau orang terdekat hukumannya diperberat sepertiga," ungkapnya.
Baca juga: Mendikbudristek Nadiem Makarim: Upaya Pencegahan Kekerasan Seksual Belum Selesai
Ia mencontohkan sejumlah kasus seperti PN Kudus yang menghukum 18 tahun penjara kepada guru ngaji yang mencabuli 9 orang anak.
Kemudian kasus di Medan, kepala sekolah sekaligus pendeta sekolah berasrama yang dihukum 10 tahun.
"Kemudian kasus di Lampung kena 14 tahun, dan Herry Wirawan bahkan hukuman mati, walau sebenarnya masih memperdebatkan apalagi lembaga HAM."
"Tapi artinya itu menunjukkan hakim-hakim kita mulai menghukum berat pelaku (kekerasan seksual pada anak)," ungkapnya.
Selain itu adanya UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dinilai bisa lebih berpihak pada korban.
Pasalnya, dalam UU TPKS, kesaksian korban sudah bisa dijadikan alat bukti.
"Dulu orang males ngelapor karena korban disuruh ngebuktiin sendiri, seperti sudah jatuh ketimpa tangga."
"Saya mengapresiasi hakim dan kepolisian dalam beberapa kasus terakhir," imbuhnya.
Masih Lemah di Pemulihan Psikologis
Meski demikian, proses penyelesaian kekerasan seksual pada anak dinilai Retno tidak boboleh berhenti di level peradilan.
Kondisi psikologis anak korban kekerasan seksual harus diperhatikan negara.
"Kewajiban negara untuk pemulihan psikologi. Kalau pemulihan kesehatan cepet, minum obat sembuh, tapi kalau luka batin butuh waktu yang lama," ungkapnya.
"Kalau tidak tuntas psikologinya, ada potensi korban menjadi pelaku di kemudian hari," ujar Retno.
Menurutnya, jika korban tidak mendapat hak pemulihan psikologi, maka trauma akan dirasakan korban dalam jangka panjang.
"Nah kalau untuk pemulihan psikologi, Indonesia sudah ada regulasinya, tapi pelaksanaannya kurang, karena kurangnya psikolog di daerah-daerah," ungkapnya.
(Tribunnews.com/Gilang Putranto)