"Jangan sampai timbul kesan kalau jabatan pimpinan itu jatah hakim kamar A atau B, kamar lain tidak bisa, meskipun prosesnya melalui pemilihan ya. Karena kita tahu hakim agung yang bertugas di tiap kamar itu sama-sama berkarir dari bawah," ujarnya.
Dia, mencontohkan sepanjang pengetahuannya, wakil ketua MA bidang yudisial selalu dijabat oleh hakim agung berlatar kamar perkara umum.
Sementara, wakil ketua MA bidang non yudisial secara bergantian dijabat oleh hakim agung dari kamar umum dan kamar agama.
Dua jabatan itu, lanjutnya, belum pernah diisi oleh hakim dari kamar militer maupun tata usaha negara (TUN).
"Dari kamar militer mungkin sudah tiga kali ya menjabat Ketua MA, tapi dari TUN ini belum pernah menduduki pimpinan MA," ujarnya.
Baca juga: Mahkamah Agung Buka Seleksi PPPK Tenaga Teknis 2022, Simak Rincian Formasi yang Dibutuhkan
Kondisi tersebut, kata Septa, kurang ideal karena mengesankan seolah hakim TUN tidak cakap mengemban amanah pimpinan MA, juga seolah ada dikotomi 'anak emas' dan 'anak tiri' untuk pengisian jabatan pimpinan MA.
Karena itu, dia menyarankan alangkah lebih baik bila MA mencontoh solidaritas TNI, di mana kini tak ada lagi dominasi matra darat di posisi Panglima TNI.
"Hakim agung dan kamar itu kan tidak banyak, jadi saya pikir tidak sulit menerapkan prinsip keterwakilan tadi, akan lebih representatif dan terasa kebersamaannya," pungkas Septa.
Publik mencatat hingga kini pemilihan Pimpinan Mahkamah Agung RI yang terpilih, Ketua atau Wakil Ketua belum pernah diisi dari Hakim TUN.
"Ya, ketua atau Wakil Ketua belum ada Hakim dari Pengadilan TUN, ini perlu jadi perhatian internal MA," katanya.
Pada proses pemilihan Wakil Ketua MA Yudisial, Ketua MA Muhammad Syarifuddin sendiri tidak ikut memberikan suara demi menjaga netralitas. Dia menegaskan siapapun yang terpilih adalah pilihannya.
"Untuk menjaga netralitas saya, izinkan saya untuk menggunakan hak saya untuk tidak memilih. Siapa pun nanti yang terpilih, itulah pilihan saya," kata Syarifuddin di Kantor MA