TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pekerja Migran Indonesia dengan negara tujuan Taiwan dibebankan biaya penempatan.
Keputusan ini dampak dari kisruh yang berlarut-larut terhadap keputusan Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP2MI).
Dalam keputusan ini diduga kuat ada mark up biaya penempatan yang dicantumkan dalam Surat Pernyataan Biaya dan Gaji yang ditandatangani oleh calon pekerja migrain Indonesia (CPMI).
Ini menjadi dasar pembebanan biaya yang ujung-ujungnya adalah pemotongan gaji di luar Negeri.
Komisi Nasional Lembaga Pengawasan Kebijakan Pemerintah dan Keadilan (Komnas LP-KPK), Selasa 21 Februari 2023 menghadiri sidang pertama gugatan terhadap kebijakan ini ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Timur.
Hadir dalam persidangan ini para penggugat yaitu Wasekjen 1 Amri Piliang didampingi Direktur YLBH LP-KPK Njekto Hadi SH MH, Zaibi Susanto SH MH dan Andrey Tuamelly SH.
Usai menghadiri gugatan, Amri menilai bahwa semua keputusan Kepala BP2MI No.328, 785, 786, 101, 102, 103, 104 tahun 2022 diduga merupakan perbuatan melawan hukum.
''Karena membebankan biaya penempatan kepada pekerja migran Indonesia PMI berpotensi pada penjeratan hutang,'' ujarnya.
Padahal menurut Amri, dalam Pasal 30 UU No 18 tahun 2017 jelas disebutkan;
(1) Pekerja Migran Indonesia tidak dapat dibebani biaya penempatan. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai biaya penempatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Kepala Badan.
Sehingga tahun 2020, terbit Peraturan Kepala BP2MI No.9 Tahun 2020 Tentang Pembebasan 14 item Komponen Biaya Penempatan untuk 10 Jenis Jabatan bagi Pekerja Migran Indonesia.
Amri menyatakan Benny Rhamdani selaku kepala badan dapat dikenakan sanksi pidana penyalahgunaan wewenang yang mengakibatkan terjadinya Tindak Pidana Perdagangan Orang sebagaimana disebutkan dalam pasal 8 UU No.21 Tahun 2007 tentang TPPO.
''Dan pidananya ditambah 1/3 dari ancaman Pidana dalam Pasal 2, 3, 4, 5, dan 6. Selain itu mengabaikan hasil kesimpulan Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi IX DPR-RI bersama BP2MI, Kemnaker dan APJATI pada 8 Juni 2022 yang juga merupakan Pelanggaran Undang-undang MD3,'' ujar Amri.
Menurut Amri, dari hasil Penelusuran Komnas LP-KPK terdapat modus operandi keputusan kepala BP2MI No.328 Tahun 2022 yang mewajibkan PMI membuat Surat Pernyataan Biaya dan Gaji yang menjadi beban PMI.
Ini menurutnya disiasati dengan pura-pura membayar lunas kepada Perusahaan Penempatan (P3MI) dengan melibatkan lembaga keuangan non bank atau koperasi simpan pinjam sebagai penjeratan hutang yang berakibat pada pemotongan gaji PMI di luar negeri selama 6 bulan dengan suku bunga yang menjerat leher para PMI.
Baca juga: 34 WNI Korban Penyekapan di Kamboja Tak Patuhi Prosedur Jadi PMI, Kemenlu Minta Perhatian Pemda
Padahal menurut Amri, pinjaman yang diberikan hanya sekitar Rp 17 juta yang tertuang dalam Kepka BP2MI No.328 Tahun 2022 untuk negara tujuan Taiwan.
''Bahkan tidak menutup kemungkinan PMI dapat menjual harta benda untuk membayar biaya penempatan kepada Pelaksana Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI). Hal ini tentunya bertentangan dengan semangat pembebasan biaya penempatan untuk memerdekakan PMI dari jeratan para sindikat mafia yang pernah digaungkan oleh kepala BP2MI,'' katanya.