TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Nasional Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) telah menghimpun data-data mengenai kekerasan berbasis gender, khususnya bagi perempuan selama satu tahun ke belakang.
Data-data tersebut dikumpulkan dalam bentuk Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan 2023.
Dari data yang terhimpun, terdapat pembagian ranah kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan, yaitu personal, publik, dan negara.
"Ranah adalah istilah yang kita gunakan untuk menjelaskan hubungan antara korban dan pelaku," ujar Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani dalam acara peluncuran Catahu Komnas Perempuan 2023 di Hotel Santika Hayam Wuruk, Jakarta Barat, Selasa (7/3/2023).
Baca juga: Mahasiswi UPH yang Diduga Dianiaya Pacar Bantah Hentikan Laporan ke Komnas Perempuan
Dalam ranah publik, Komnas Perempuan menemukan adanya peningkatan kekerasan terhadap perempuan.
Akan tetapi, proses penangannya masih terhambat.
Andy mencontohkan kekerasan terhadap pekerja rumah tangga wanita yang kerap dianggap ranah personal.
Padahal relasi antara korban dan pelaku berkaitan dengan urusan pekerjaan, sehingga masuk ke ranah publik.
"Meski tinggal satu atap dan jaminan untuk bebas dari kekerasan telah diatur dalam UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan di Dalam Rumah Tangga, kekerasan terhadap pekerja rumah tangga adalah tindak kekerasan yang terjadi di ranah publik," ujar Andy.
Baca juga: Komnas Perempuan Kecam Tindakan Pelaku Pembakaran Wanita di Sorong, Anggap Femisida
Kemudian perhatian atas kekerasan terhadap perempuan di ranah publik, disebut Andy tak dapat memalingkan perhatian dari kekerasan di ranah personal.
Sebab, kekerasan di ranah personal menjadi kasus yang paling banyak dilaporkan.
"Apalagi tahun ini, data kekerasan terhadap perempuan di ruang daring, khususnya kekerasan seksual, menunjukkan bahwa hampir setengahnya dilakukan oleh orang yang memiliki hubungan personal dengan korban," katanya.
Sementara di ranah negara, Komnas Perempuan mencatat lonjakan pengaduan hampir dua kali lipat dari tahun sebelumnya.
Pengaduan oleh perempuan berhadapan dengan hukum sebagai tersangka maupun terpidana ditemukan cukup mendominasi.
"Selain itu, kriminalisasi masih dihadapi oleh perempuan yang melaporkan kasusnya, maupun para perempuan pembela HAM yang melakukan pendampingan pada korban," ujar Andy.
Baca juga: Perkuat Penanganan Kekerasan Seksual, PSGA UIN Surakarta Gelar Workshop Pengelolaan ULT PPKS
Untuk informasi, Catahu ini merupakan pendokumentasian data-data kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia.
Dalam pendokumentasian tersebut, Komnas Perempuan menemukan berbagai pola dan bentuk kekerasan terhadap perempuan setiap tahunnya.
Pendokumentasian itu tak hanya dilakukan oleh Komnas Perempuan sendiri, tapi bekeja sama dengan berbagai pihak.
"Sejak pertama kali digagas, Catahu merupakan sebuah kerja bakti untuk menghasilkan pengetahuan dari perempuan. Saya sebut kerja bakti karena proses pengumpulan informasi dari
lembaga-lembaga yang terlibat adalah bersifat suka rela," kata Andy.
Total ada 137 lembaga yang dilibatkan dalam pendokumentasian tersebut hingga dirangkum secara komprehensif dalam sebuah Catahu.
"Tahun ini, ada 137 lembaga yang turut serta dari 27 Provinsi," ujarnya.
Catahu kekerasan terhadap perempuan ini nantinya dapat digunakan sebagai rujukan berbagai pihak. Termasuk di antaranya, rujukan bagi kajian ilmiah dan perumusan kebijakan.
Oleh sebab itu, integrasi data mengenai kekerasan terhadap perempuan diharapkan segera terwujud.
"Mengingat kebutuhan data nasional tentang kasus kekerasan terhadap perempuan sebagai basis perumusan kebijakan, Komnas Perempuan berharap negara memprioritaskan percepatan proses integrasi data yang ditopang dengan dukungan penguatan infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi di semua lembaga terkait," kata Andy.