"Karena tidak disebutkan, makin enggak jelas. Itu artinya masih membebaskan semua jenis pekerjaan boleh dialih dayakan," jelas Said Iqbal.
Selain itu, KSPI juga menyoroti soal tak ada perubahan soal pesangon di Perppu Cipta Kerja maupun UU Omnibus Law.
Di aturan teranyar ini, pemerintah menghapus frasa "paling sedikit" yang sebelumnya tertulis di UU Ketenagakerjaan.
Akibatnya, kata Said Iqbal, pekerja tidak bisa melakukan perundingan atas pesangon yang biasanya dapat menerima besaran dua atau tiga kali lebih besar dari ketentuan sesuai kemampuan perusahaan.
Pasal 79 ayat 5 Perppu Cipta Kerja
Pada UU Ketenagakerjaan ada poin khusus yang mewajibkan perusahaan memberikan cuti besar atau istirahat panjang sekurang-kurangnya dua bulan, tapi baik di UU Omnibus Law dan Perppu Cipta Kerja ketentuan itu dihilangkan.
Baca juga: Perppu Cipta Kerja Disahkan Jadi UU, Airlangga: bagi Indonesia Penting, Beri Kepastian Hukum
"Perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama."
"Kami ingin aturan itu dikembalikan ke undang-undang sebelumnya," kata Said Iqbal.
Pasal 79 ayat (2) soal Libur Pekerja
(2) Waktu istirahat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib diberikan kepada Pekerja/Buruh paling sedikit meliputi:
a. istirahat antara jam kerja, paling sedikit setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus-menerus, dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja; dan
b. istirahat mingguan I (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
Aturan tersebut menandakan hak libur pekerja yang sebelumnya mengatur dua hari dalam seminggu dihapus, sebagaimana tertera dalam Pasal 79 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Meski begitu, Perppu Cipta Kerja tetap memungkinkan pekerja mendapat libur dua hari, sebagaimana tertera dalam Pasal 77 mengenai waktu kerja, yakni 7 jam atau 8 jam sehari.