TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati mengatakan tak menutup kemungkinan kembali terjadi pergeseran ancaman disinformasi pada tahun 2024.
Hal ini berkaca dari pengalaman pemilu tahun 2014 dan 2019 lalu.
Khoirunnisa mengatakan tren persoalan disinformasi mulai terjadi pada pesta demokrasi tahun 2014, kemudian Pilkada 2017, dan Pemilu Serentak 2019.
"Masalah disinformasi trennya mulai 2014, td juga disampaikan terjadi di Pilkada (2017) lalu di 2019," kata Khoirunnisa dalam diskusi publik secara daring bertajuk 'Kolaborasi Lindungi Pemilu dari Ancaman Disinformasi' pada Senin (17/4/2023).
Ia menjelaskan bentuk disinformasi pada tahun 2014 punya tujuan untuk mengubah opini publik agar pilihan politik mereka berubah. Sehingga bentuk disinformasinya menyerang antar peserta pemilu.
Namun lanjutnya, memasuki tahun 2019 bentuk disinformasi itu mulai menyerang penyelenggara pemilu dalam hal ini KPU dan Bawaslu.
Bentuknya seperti tata cara proses pemilu, serangan terhadap isu surat suara, hingga isu saat pencoblosan di TPS.
"Kalau 2019 itu sudah mulai menyerang penyelenggara, baik punya KPU maupun Bawaslunya, terkait tata cara proses pemilunya, tadi soal surat suara, dan bagaimana memilih di TPS," ungkap dia.
Selain itu ada juga ajakan yang mengajak pemilih tak perlu datang ke TPS untuk mencoblos, melainkan cukup melalui poling pada platform media sosial. Alhasil banyak pemilih yang melewatkan hari pencoblosannya karena merasa telah menuangkan hak konstitusinya di medsos.
Baca juga: Perludem: Evaluasi Perbaikan Sistem Tidak Bisa Dilakukan Lagi Jika MK Putuskan Proporsional Tertutup
Menurutnya cerminan masalah disinformasi yang terjadi pada 2014 hingga 2019 perlu dicegah dan diantisipasi dalam pelaksanaan Pemilu Serentak 2024.
"Tadi ada disinformasi yang tersebar bahwa orang nggak perlu ke TPS tapi cukup ikut polling di salah satu platform medsos saja. Itu hak pilihnya jadi hilang," kata Khoirunnisa.