News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Fenomena Perubahan Iklim dan Gelombang Panas, Luhut Beberkan Dampak Mengerikan Bagi Pertanian

Penulis: Bambang Ismoyo
Editor: Hendra Gunawan
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi kekeringan

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ismoyo

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan menyinggung isu perubahan iklim yang kian nyata terjadi beberapa waktu ke belakang.

Bahkan, pada hari pertama kerja usai libur lebaran, Menko Luhut dan jajarannya turut membahas adanya fenomena kenaikan suhu di berbagai belahan bumi, termasuk di Indonesia.

Diketahui, gelombang panas atau heatwave nyata terjadi di sejumlah kawasan Asia.

Baca juga: Dunia Hari Ini: Setidaknya 43 Ribu Orang Meninggal Dunia di Somalia Tahun Lalu karena Kekeringan

Di Thailand, suhu tertinggi sempat mencapai di angka 45,4 derajat celcius, kemudian salah satu kota di Bangladesh tercatat di angka 51 derajat celcius.

Untuk di Indonesia, salah satu wilayahnya di Tangerang Selatan (Banten) sempat menyentuh suhu di level 37 derajat celcius.

"Hari pertama pasca libur Idulfitri, ada satu hal yang penting untuk saya koordinasikan setelah mendapatkan banyak pertanyaan sekaligus merasakan langsung mengapa akhir-akhir ini suhu di beberapa daerah terasa begitu tinggi," terang Menko Luhut dalam postingan Instagram pribadinya, dikutip (27/4/2023).

Ia melanjutkan, Sekjen Organisasi Meteorologi Dunia menyatakan bahwa fenomena La Nina yang telah terjadi selama tiga tahun berturut-turut dan membawa cuaca lebih basah akhirnya telah berakhir.

Sebagai gantinya El Nino akan membawa suhu menjadi tinggi sehingga membuat cuaca menjadi lebih kering.

Berdasarkan data yang diperoleh Luhut, suhu laut juga telah mencapai rekor tertingginya setelah terakhir terjadi pada tahun 2016 yang lalu.

Belum lagi gelombang panas yang mendorong rekor suhu tertinggi di Asia akhir-akhir ini.

"Dari pemodelan cuaca yang kami dapatkan El Nino di prediksi akan terjadi pada Agustus 2023 meski ketidakpastian tingkat keparahan El Nino masih sangat tinggi," paparnya.

Untuk itu, Luhut meminta Indonesia belajar dari pengalaman tahun 2015 lalu, El Nino berpotensi menyebabkan dampak kekeringan yang luas dan juga kebakaran hutan dan lahan di beberapa daerah.

Baca juga: Panenan Jagung di Prancis Memburuk Akibat Kekeringan Lahan

Hal ini tentunya berkorelasi terhadap turunnya produksi pertanian dan pertambangan berdasarkan data IMF.

Belum lagi dampak luas terhadap inflasi Indonesia dikarenakan besarnya kontribusi inflasi pangan terhadap inflasi keseluruhan.

Hal ini terjadi karena diperkirakan 414 lahan padi mengalami kekeringan ekstrim di tahun tersebut.

Data World Food Programme bahkan menyebut bahwa 3 dari 5 rumah tangga kehilangan pendapatan akibat kekeringan, dan 1 dari 5 rumah tangga harus mengurangi pengeluaran untuk makanan akibat kekeringan.

Baca juga: Studi: Eropa Dilanda Kekeringan Terburuk dalam 500 Tahun

"Untuk itu, kami akan bersiap dalam kondisi yang paling ekstrem sekalipun. Saya meminta seluruh Kementerian/Lembaga terkait juga Pemerintah Daerah untuk mulai bersiap sejak dini, memperhitungkan segala langkah yang mesti ditempuh agar pengalaman buruk delapan tahun lalu tidak terulang kembali," ujar Luhut.

"Setidaknya sejak saat ini kami menyiapkan teknologi modifikasi cuaca sebagai senjata menghadapi El Nino. Mari kita semua tetap waspada dan saling menjaga di masa masa sulit seperti ini sehingga kerugian yang terjadi akibat peralihan cuaca bisa kita reduksi bersama demi kemaslahatan masyarakat Indonesia seluruhnya," pungkasnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini