TRIBUNNEWS.COM, BANDUNG - Dosen Universitas Pertahanan (Unhan) RI yang juga Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan (PDIP) Dr. Hasto Kristiyanto menyampaikan kuliah umum bertema geopolitik Soekarno di Sekolah Staf dan Komando (Sesko) TNI.
Hasto menggelorakan para perwira yang akan menjadi pimpinan TNI masa depan untuk berani membangun ide dan imajinasi tentang kekuatan pertahanan Indonesia yang terkuat di dunia.
Hasto memberi kuliah umum bertema “Membangun Kekuatan Pertahanan Negara Berdasarkan Teori Geopolitik Soekarno” di hadapan ratusan perwira siswa pendidikan reguler (Pasis Dikreg) Angkatan ke-52 Sesko TNI, di Bandung, Selasa (16/5/2023).
Baca juga: Hasto Ungkap Alasan Pemilihan Istana Batu Tulis Jadi Tempat Umumkan Ganjar Bakal Capres PDIP
Jajaran Sesko TNI dipimpin Komandan Sesko Marsekal Madya TNI Kusworo.
“Mari berani berimajinasi. Karena imajinasi lebih hebat dari pengetahuan. Itu kata Einstein. Tahun 1927 Bung Karno di Kota Bandung ini berani mengimajinasikan Indonesia merdeka, padahal kekuatan Belanda saat itu adalah salah satu yang terkuat di dunia. Apa rahasia kita merdeka? Itu adalah the power of idea and imagination,” kata Hasto.
“Para pendiri bangsa kita menyebut idea over opinion. Jadi maksudnya, bagaimana misalnya sekarang kita imajinasikan kekuatan militer kita akan terkuat di Samudera Hindia misalnya, sehingga Indonesia menjadi pintu gerbang kemajuan di Pasifik. Dengan imajinasi dan ide tersebut, mari kita siapkan langkah strategisnya,” tambah Hasto.
Untuk bisa melakukannya, para perwira TNI harus meyakinkan dirinya bahwa Indonesia punya syarat untuk menjadi negara hebat, termasuk kekuatan militernya.
“Lalu bagaimana caranya pertahanan kita menjadi disegani dan menjadi penjaga perdamaian dunia? Takkan bisa kalau hanya mengandalkan APBN. Tapi harus dengan strategi geopolitik. Kita tak bisa diam saja dan tak membangun disain masa depan kekuatan pertahanan negara kita. Dan kita jalankan siklus geopolitik Bung Karno dengan menegaskan national interest kita, lalu Indonesia melibatkan diri dalam berbagai persoalan global, dan melalui diplomasi luar negeri dan pertahanan, kita perjuangkan kepentingan Indonesia atas dasar konstelasi geografis,” ujar Hasto.
Baca juga: Hasto: Penyusunan Bacaleg PDIP Senapas Dengan Upaya Pemenangan Ganjar Pranowo Sebagai Capres
Berbicara geopolitik, dalam kuliahnya, Hasto memaparkan pemikiran geopolitik Soekarno yang bercorak kritis sebagai Progressive Geopolitical Coexistence. Pemikiran itu merupakan alternative of view pemikiran geopolitik Amerika, Eropa dan Asia. Jika pemikiran geopolitik Barat cenderung memperluas wilayah, maka geopolitik Soekarno justru bertujuan menjaga kedamaian di dunia.
Konstruksi pemikiran geopolitik Soekarno didasarkan kepada body of knowledge dan tujuh variable geopolitik Soekarno. Yakni Demografi, Teritorial, Sumber Daya Alam, Militer, Politik, Koeksistensi Damai, Sains dan Teknologi.
Tradisi intelektual geopolitik Soekarno dibentuk dari pemikiran kritis menyikapi kolonialisme dan imperialisme, dan cita-cita untuk tata dunia baru yang mengedepankan kemanusiaan, internasionalisme, keadilan, dan koeksistensi damai.
Lebih lanjut, Hasto menjelaskan bahwa dalam konteks perjuangan kepentingan nasional, pengaruh geopolitik Soekarno memiliki relevansi dalam pertahanan. Di antaranya: pembebasan Irian Barat; Peta Jalan Koridor Pembangunan Nasional; Peta Jalan Koridor Kepentingan Nasional; Pelembagaan Pertahanan Nasional: Darat, Laut, dan Angkasa; Tingginya Indeks Pertahanan Nasional; dan Kemandirian Pertahanan Nasional.
Siklus pemikiran geopolitik Soekarno merupakan gambaran kebijakan yang merupakan pertautan pemikiran geopolitik Soekarno dengan kepentingan nasional, diplomasi dan pertahanan negara.
Lalu, mengenai pemikiran geopolitik Soekarno memengaruhi pemikiran dunia, Hasto menjelaskan bagaimana Pancasila menjadi sebagai life line Dunia Baru. Dibuktikan dalam Konferensi Asia Afrika (KAA), Gerakan Non Blok (GNB), dan Kemerdekaan Bangsa-bangsa Asia Afrika, dan postulat geopolitiknya yang menegaskan perdamaian dunia hanya akan terjadi apabila dunia bebas dari kolonialisme dan imperialisme tetap relevan hingga saat ini.