Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fersianus Waku
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara dan Konstitusi Universitas Muslim Indonesia, Fahri Bachmid menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengubah masa jabatan pimpinan KPK menjadi lima tahun dari empat tahun problematis dan multitafsir.
"Sangat problematis serta mengandung sifat multitafsir," kata Fahri kepada wartawan, Sabtu (27/5/2023).
Fahri menegaskan, sangat sulit untuk membangun korelasi sebagai justifikasi dari putusan MK terhadap keberlangsungan serta keabsahan pimpinan KPK saat ini.
Sebab, kata dia, dalam putusan MK sama sekali tidak memberikan jalan keluar sebagai konsekuensi diterimanya permohonan ini.
"Satu satunya pertimbangan konstitusional yang MK buat adalah berdasarkan pertimbangan hukum sebagaimana terdapat dalam halaman 117 putusan MK itu," ujarnya.
Baca juga: Putusan MK Perpanjangan Masa Jabatan Pimpinan KPK Berlaku harus Berlaku Periode Selanjutnya
Menurutnya, penjelasan MK hakikatnya bukan merupakan pijakan konstitusional yang diberikan MK kepada pimpinan KPK saat ini sebagai sebuah pranata serta transfer kewenangan transisi sampai dengan bulan Desember 2024.
Fahri menjelaskan bahwa secara ketentuan Pasal 47 UU MK mengatur bahwa putusan MK memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum.
"Artinya secara teoritik putusan MK bersifat prospektif ke depan (forward looking), dan tidak retroaktif ke belakang (backward looking), itu adalah prinsip dasar," ucapnya.
Dengan demikian, jelas dia, presiden sebagai kepala negara akan diperhadapkan dengan suatu kondisi yang sangat problematis sehingga membutuhkan suatu kehati-hatian.
Selain itu, Fahri juga menilai putusan MK tersebut tidak membuat kanal konstitusional, minimal pada amar putusannya, untuk menampung keadaan khusus mengenai kaidah peralihan.
Baca juga: Abraham Samad Nilai MK Istimewakan Gugatan Nurul Ghufron Soal Masa Jabatan Pimpinan KPK
Menurutnya, hal tersebut penting agar memuat penyesuaian pengaturan tindakan hukum antara ketentuan yang ada dengan putusan MK tersebut.
"Hal itu tujuannya untuk menghindari terjadinya kekosongan hukum atau menjamin kepastian hukum dan memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak perubahan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau putusan yang sifatnya mengatur hal-hal yang bersifat transisional atau bersifat sementara," tegas Fahri.
Tak hanya itu, dia juga menyoroti standar ganda MK terkait open legal policy atau kebijakan hukum pembuat undang-undang dalam putusan MK soal perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK ini.
Sebab, dalam putusan tersebut, MK mengesampingkan open legal policy dengan sejumlah pertimbangan, yakin bertentangan dengan moralitas, rasionalitas, dan menimbulkan ketidakadilan yang intolerable, merupakan penyalahgunaan wewenang, melampaui kewenangan pembentuk undang-undang dan/atau bertentangan dengan UUD 1945.
Sementara, dalam uji materi lain seperti uji materi ketentuan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold, MK secara konsisten menyebutnya sebagai open legal policy.
"Dengan MK mengabulkan permohonan mengubah masa jabatan pimpinan KPK dari 4 tahun menjadi 5 tahun, dikhawatirkan akan memantik permohonan lain di kemudian hari terhadap adanya perbedaan masa jabatan pimpinan di beberapa lembaga atau komisi negara. MK akan masuk ke wilayah yang selama ini merupakan kewenangan pembentuk undang-undang," imbuhnya.