TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Polda Metro Jaya membongkar kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dengan menangkap perekrut dan penyalur yang merupakan seorang pasangan suami-istri (pasutri), Kamis (8/6/2023).
Subandi, Ketua RT011/03 Jalan Haji Kotong, Kebon Jeruk, Jakarta Barat tak menyangka salah satu rumah di lingkungannya itu digerebek polisi karena diduga jadi lokasi penampungan pekerja migran ilegal (PMI).
Perihal rumah itu dijadikan penampungan pekerja ilegal, Subandi pun membantah hal tersebut dan
menjelaskan bahwa ia baru mengetahui setelah polisi melakukan penggerebekan.
"Enggak ada itu enggak ada. Setahu saya enggak ada disitu, baru kali ini saya dengar. Kalau tahu dari dulu, saya gerebek," kata Subandi ketika ditemui di lokasi, Jumat (9/6/2023).
Baca juga: Pasangan Suami Istri Pelaku Kejahatan TPPO Ditangkap, Tersangka Janjikan Korban Bekerja di Dubai
Subandi mengaku sempat diberikan penjelasan oleh salah satu penghuni rumah tersebut yang bernama Emiyati (65) bahwa yang membawa para pekerja itu merupakan adiknya.
Emiyati mengatakan kepada Subandi, bahwa para pekerja tersebut dibawa oleh pelaku sekitar hari Selasa (6/6/2023) malam, sehari sebelum polisi melakukan penggerebekan.
Kata dia polisi melakukan penggerebekan pada Kamis (8/6/2023) sekitar pukul 17.30 WIB.
"Kan baru ini kejadiannya baru semalam itu Pak RT, adik saya bawa TKW kesini, enggak tahu bilang begitu yang punya rumah ke saya," ujar Subandi.
Dikatakan Subandi, Emiyati tinggal di rumah tersebut bersama ibunya yang sudah berusia sepuh serta terdapat satu anggota keluarga lain yakni laki-laki.
Subandi mengatakan, meski Emiyati tahu kalau adiknya itu membawa para tenaga kerja wanita (TKW) ke rumahnya, namun dirinya tak mengetahui lokasi para TKW itu akan dipekerjakan.
"Kata ibu Emiyati 'disitu ada orang tua saya pak RT, terus adik saya bawa TKW untuk diberangkatkan,
tapi saya enggak tahu (bakal diberangkatkan kemana), itu adik saya," tuturnya.
Subandi menjelaskan, bahwa penghuni rumah tersebut tak ada yang melapor jika terdapat orang baru yang dibawa ke rumah tersebut.
Baca juga: Satgas TPPO Selamatkan 123 PMI ke Malaysia, 20 Orang di Antaranya Anak-anak
"Ya dia enggak lapor, mungkin pikirnya cuma sebentar atau semalam doang. Makanya saya bilang ke
yang punya rumah, 'bu gak boleh kaya begitu bu nampung-nampung orang kaya gitu," sebutnya.
Pantauan Tribun di lokasi rumah yang terletak di Jalan Haji Kotong Nomor 3, Kebon Jeruk, Jakarta Barat itu memiliki ukuran yang cukup besar.
Rumah itu memiliki tembok yang didominasi berwarna putih dan di depannya terdapat gerbang tak begitu tinggi berwarna hitam.
Rumah tersebut juga memiliki halaman cukup luas yang dimana pada halaman tersebut terdapat dua pohon yang menghiasi rumah.
Tak hanya itu, rumah yang beratapkan genting berwarna cokelat itu juga memiliki satu buah garasi yang di dalamnya terdapat beberapa unit kendaraan yakni satu buah mobil dan dua sepeda motor.
Meski sempat digerebek oleh pihak kepolisian, namun di rumah itu masih terdapat penghuninya.
Hal itu tampak dari teralis pintu rumah yang terlihat terbuka dan kondisi area rumah yang masih dalam kondisi bersih layaknya rumah yang masih berpenghuni.
Selain itu berdasarkan keterangan Subandi, Ketua RT di lingkungan tersebut, bahwa rumah itu masih
dihuni oleh tiga orang penghuninya yang salah satunya merupakan wanita berusia sepuh.
Baca juga: Barisan Aktivis Muda Indonesia Respons Langkah Cepat Penyelamatan 123 WNI Dalam Kasus TPPO
Pasutri Pelaku TPPO
Diketahui, Polda Metro Jaya membongkar kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dengan menangkap perekrut dan penyalur yang merupakan seorang pasangan suami-istri (pasutri).
Sang istri yang berinisial F dan suaminya AG yang menjadi dalang pengiriman pekerja migran ilegal itu ditangkap di kawasan Kebon Jeruk, Jakarta Barat.
Dirkrimsus Polda Metro Jaya Kombes Auliansyah Lubis mengatakan peristiwa tersebut bermula dari adanya laporan terkait rumah di kawasan Jalan H Kotong Nomor 3 RT 11 RW 3, Kebon Jeruk, Jakarta Barat jadi tempat penampungan calon pekerja migran ilegal.
Di sana, ada 15 orang calon pekerja migran yang akan diberangkatkan ke Arab Saudi pada Juni 2023 nanti.
"Dari 15 calon pekerja migran tersebut direkrut dan diproses dan ditempatkan oleh saudari F dan
bersama dengan suaminya yaitu saudara AG," kata Auliansyah.
Setelahnya, dilakukan pengembangan ke kediaman pelaku yang berada di Cijantung, Pasar Rebo, Jakarta Timur.
Di sana, pihak kepolisian mendapatkan 9 paspor dan visa calon pekerja migran ilegal. Mereka direncanakan akan berangkat pada 7 Juni 2023 ke Arab Saudi.
Setelah diselidiki lagi, Kamis (8/6/2023) pukul 14.33 WIB, pihak kepolisian kembali mengamankan 7 pekerja
migran ilegal lainnya di PT UBS yang berlokasi Cijantung, Jakarta Timur.
"Didapatkan 7 orang Calon Pekerja Migran Indonesia (CPMI) yang akan diberangkatkan 2 bekerja ke negara Arab Saudi. Yang mana keseluruhan Calon Pekerja Migran Indonesia (CPMI) sudah memiliki paspor dan visa," imbuhnya.
Para pelaku juga tidak menggunakan visa kerja untuk 22 korban yang akan diberangkatkan, melainkan menggunakan visa ziarah.
"Faktanya berdasarkan bukti visa daripada calon pekerja migran Indonesia (CPMI) tersebut adalah visa untuk berziarah ke negara Arab Saudi," kata dia.
Parahnya, lanjut Auliansyah, visa tersebut berlaku hanya untuk 90 hari. Artinya, visa tersebut bukan
diperuntukkan untuk para korban bekerja di sana.
"Masa berlaku selama 90 hari dan bukan visa untuk bekerja di negara Arab Saudi," sambungnya.
PMI Anak-anak
Terpisah, Satgas Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) berhasil menggagalkan pemberangkatan 123
calon pekerja migran Indonesia (PMI) ilegal ke Malaysia.
Ratusan orang yang hendak dikirim melalui wilayah Nunukan, Kalimantan Utara (Kaltara) itu terdiri dari 74 laki-laki, 29 perempuan, dan 20 anak-anak.
"Satgas TPPO Polri berhasil menyelamatkan 123 korban yang berasal dari Sulawesi Selatan, NTT, dan
Jawa Timur," kata Kasatgas TPPO Brigjen Asep Edi Suheri.
Dalam kasus ini, ada sebanyak 8 orang tersangka dari 9 kelompok jaringan yang berhasil ditangkap Satgas TPPO bersama Polda Kaltara dan Polres Nunukan.
Asep menuturkan, dari pengungkapan yang dilakukan Satgas TPPO Polri bersama Polda Kaltara dan Polres Nunukan, telah ditetapkan sebanyak 8 orang tersangka. Para tersangka berasal dari 9 kelompok jaringan TPPO.
"Satgas TPPO Polri bersama Polda Kaltara dan Polres Nunukan berhasil mengungkap 9 kelompok jaringan TPPO, menerbitkan 9 laporan polisi, dan menetapkan 8 orang tersangka," katanya.
Polisi yang juga menjabat sebagai Wakabareskrim Polri ini mengatakan ada dua modus yang digunakan
untuk mengirimkan para korban.
Pertama, pekerja migran dikirim melalui jalur resmi hingga jalur tidak resmi atau jalur tikus.
"Satgas TPPO Polri bekerja sama dengan instansi terkait, yaitu TNI wilayah Nunukan, BP3MI Nunukan,
PT Pelni, dan PT. Pelindo Cabang Nunukan," ucapnya.
Dalam kasus ini, pihak kepolisian juga mengamankan sejumlah barang bukti yang terdiri dari 32 unit
ponsel, 3 kartu keluarga, 54 KTP, dan 45 Paspor.
Adapun para tersangka dikenakan pasal 4 Jo Pasal 10 UU Nomor 21 tahun 2007 tentang pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang Subsider Pasal 81 Jo Pasal 69 UU No 18 tahun 2017 tentang
Perlindungan Pekerja Migran Indonesia dengan ancaman pidana 10 tahun penjara dan denda maksimal
sebesar Rp 600 juta.
"Terkait pemulangan korban, kami sudah berkoordinasi dengan Badan Pelayanan Perlindungan Pekerja
Migran Indonesia (BP3MI) dan pihak BP3MI menyatakan siap untuk memfasilitasi pemulangan korban
hingga tiba di daerah masing-masing," katanya.
Dalam kesempatan ini, Asep juga mengimbau kepada seluruh masyarakat1 Indonesia agar jangan
mudah tergiur dengan tawaran bekerja di luar negeri, dengan iming-iming gaji besar dan proses yang
mudah.
"Silakan gunakan jalur resmi yang tersedia melalui perusahaan penempatan Pekerja Migran
Indonesia atau P3M," tuturnya.
Untuk informasi, Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo telah membentuk satuan tugas (satgas)
tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang dipimpin Wakil Kepala Bareskrim (Wakabareskrim) Polri,
Irjen Asep Edi Suheri.
Kadiv Humas Polri Irjen Sandi Nugroho mengatakan Kapolri juga memerintahkan seluruh Polda untuk
membentuk Satuan Tugas Daerah (Satgasda) TPPO yang nantinya akan dipimpin oleh Wakapolda
masing-masing
"Ditindaklanjuti di setiap Polda membentuk Satgasda TPPO dipimpin Wakapolda," ujarnya.
Selain itu, Sandi sendiri juga ditunjuk untuk melakukan monitoring terkait perkembangan penanganan
kasus TPPO tersebut.
"Humas memonitor hasil pemetaan dan pengungkapan TPPO baik dari satgas pusat dan daerah, serta memitigasi informasi tersebut ke teman-teman media," ungkapnya.
Belakangan, Polri kini tengah memburu lima terduga bandar TPPO yang telah dilaporkan oleh Kepala
Badan Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Benny Rhamdani.
"Ya sudah diburu. Tapi kalau disebutkan orangnya kan lari. Makanya kemarin sempat kita buru, gara-gara disebutkan namanya, ya intinya TPPO ini menjadi atensi serius pemerintah," kata Kabareskrim Polri Komjen Agus Andrianto.
Anggota Komisi III DPR RI Fraksi PKS, Adang Daradjatun mengatakan dalam kasus TPPO, setidaknya ada
tiga titik utama yang harus diperhatikan.
Yakni korban, mafia yang ada di Indonesia, dan mafia yang ada di luar negeri.
"Pasti ini ada tiga titik utama, korban berada, mafia di tengah-tengah yang ada di Indonesia, dan kemudian mafia yang ada di luar negeri," kata Adang.
Pihak berwajib dirasa perlu untuk mengidentifikasi dan memutus rantai dari tiga titik tersebut.
Ia pun berharap lembaga fungsi intelijen terus menunjukkan tajinya dalam mengungkap kasus TPPO serta melakukan upaya preventif atau pencegahan.
Pasalnya kata dia, para mafia yang ada di Indonesia dipastikan akan lebih dulu mengumpulkan para
korbannya di satu tempat untuk kemudian diberangkatkan secara ilegal ke luar negeri.
"Saya mengharapkan betul lembaga fungsi intelijen itu harus tajam, dia harus melihat keanehan. Karena dia
(mafia) akan ngumpulin orang dulu," katanya.
Berkenaan dengan itu ia berharap perangkat pemerintah terbawah mulai dari RT/RW hingga lurah bisa
ikut mengidentifikasi jika mengendus adanya keanehan aktivitas di lingkungannya.
"Itu kalau RT/RW nya ikut, intelijennya tajam, lurahnya tajam, pasti titik utama minimal preventifnya ada. Jadi masyarakat yang terbawah sudah mulai ikut mengawasi," ungkap Adang.(Tribun Network/abd/dan/fah/wly)