Laporan Wartawan Tribunnews.com Rahmat W. Nugraha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - 43 Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tergabung ke dalam koalisi masyarakat sipil meminta pembasahan RUU Omnibus Law Kesehatan dihentikan.
Peneliti The Institute for Ecosoc Rights, Sri Palupi yang juga tergabung dalam 43 lembaga masyarakat yang menolak pembahasan RUU Omnibus Law Kesehatan.
Sri mengungkapkan setidaknya ada beberapa poin pembahasan RUU Kesehatan Omnibus perlu dihentikan.
Baca juga: Akademisi Nilai RUU Kesehatan Lahirkan Ketidakpercayaan Publik Atas Komitmen Transformasi Kesehatan
"Bersama-sama menyatakan sikap menunda pengesahan RUU Kesehatan dan kalau itu tidak dijalankan maka langkah selanjutnya adalah justru kita harus menolak adanya ruu kesehatan yang tidak berpihak pada kepentingan masyarakat yang justru akan merugikan dan memperburuk sistem layanan kesehatan,” kata Sri Palupi dalam konferensi pers di Kantor YLBHI, Jakarta Pusat, Selasa (13/6/2023).
Sri juga mengungkapkan sangat terlihat arah RUU Kesehatan meskipun dibungkus dengan lebel transformasi kesehatan.
"Cenderung mengarah pada liberalisasi sistem kesehatan dan memperluas komersialisasi layanan kesehatan termasuk tenaga medis itu sebagai komediti," sambungnya.
Baca juga: VIDEO Pasal Tembakau dalam RUU Kesehatan Diminta Dicabut: Berdampak Terhadap Mata Pencaharian Petani
Sementara itu Ketua Yayasan Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur menilai naskah akademik RUU Omnibus Law Kesehatan disusun secara ceroboh.
"Pertama naskah akademik disusun menurut kami ceroboh tidak legitimasi dan tidak punya kekuatan yang layak untuk kita gunakan sebagai naskah akademik," kata Isnur.
Misalnya kata Isnur, dalam metodelogi penelitiannya mengutip beberapa ahli atau pakar yang sudah usang bukunya. Bahkan bukunya sudah direvisi oleh penulisnya sendiri.
"Mau mengevaluasi berbagai kaji Undang-Undang. Ada 10 lebih Undang-Undang yang dievaluasi tapi sepertinya mengarang tidak ada rujukannya, referensinya siapa dan perisetnya siapa," sambungnya.
Sedangkan Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Dewi Anggraeni juga menyoroti RUU Omnibus Law Kesehatan tidak menjawab potensi terjadinya korupsi.
Baca juga: Mendekati Pergantian Pemerintahan, Pakar Nilai Pengesahan RUU Kesehatan Omnibus Sebaiknya Ditunda
"Jadi kalau kita bilang RUU Omnibus Law Kesehatan ini menjadi pembaharu. Tapi kalau kita lihat dari isinya sebenarnya banyak masalah," kata Dewi.
ICW sendiri kata Dewi, belum melihat ada terobosan-terobosan baru dalam menjawab potensi mencegah terjadinya korupsi pada RUU Omnibus Law Kesehatan.
"Kenapa demikian? Karena dari tren penindakan kasus korupsi yang ICW kumpulkan dan rilis setiap tahun. Untuk tahun 2022 sendiri kasus korupsi yang terkait kesehatan itu sedikitnya yang bisa kami data itu ada 27 kasus dengan kerugian negara hampir Rp 74 miliar," kata Dewi.
Dewi melanjutkan itu baru tahun 2022, kalau dilihat mundur sebetulnya angkanya terus naik.
"Jadi bisa saja 27 kasus di tahun 2022 hanya fenomena gunung es, hanya sedikit yang tampak di permukaan. Tapi kasusnya itu lebih banyak," jelasnya.