TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Saldi Isra membantah cuitan Eks Wamenkumham era Presiden SBY sekaligus Pakar Hukum Tata Negara Denny Indrayana terkait bocornya putusan sistem pemilu legislatif dengan dua fakta.
Saldi mengatakan cuitan yang diunggah pada Minggu 28 Mei 2023 tidak benar.
"Kami mau mengatakan tidak benar tanggal ketika cuitan, unggahan segala macam itu, tanggal itu sudah ada putusan. Jadi itu tidak benar," kata Saldi saat konferensi pers di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta pada Kamis (15/6/2023).
Fakta pertama, kata Saldi, permohonan nomor 114/2022 terkait sistem pemilu tersebut baru diputuskan 10 hari setelah pernyataan tersebut diunggah oleh Denny.
Saldi menjelaskan perkara 114/2022 tersebut diajukan ke Mahkamah Konstitusi pada tanggal 14 November 2022.
Kemudian, diregistrasi pada tanggal 16 November 2022 dan sidang dimulai pafa 23 November 2022.
Kemudian digelar sidang perbaikan pada 17 Desember 2022.
Setelah itu, kata dia, proses sidang masuk ke tahap pleno yang telah disepakati para hakim konstitusi.
Persidangan yang dimulai sejak 23 November tersebut, kata dia, baru berakhir secara faktual sidangnya tanggal 23 Mei 2023.
Pada sidang terakhir, kata Saldi, Ketua MK, menyatakan bahwa sesuai ketentuan hukum acara, pihak-pihak diberikan kesempatan untuk menyampaikan kesimpulan dengan batas akhir tanggal 31 Mei 2023.
Artinya, kata dia, hingga tanggal 31 Mei 2023 belum ada posisi hakim dan belum ada Rapat Permusyawaratan Hakim untuk membahas perkara tersebut.
Kapan kami mulai membahas? Tanggal 31 Mei 2023, kata dia, berkas dinyatakan lengkap dan dikirim ke hakim.
Masing-masing hakim, kata dia, kemudian membaca lalu membuat posisi hukum atau legal opinion.
Setelah itu, kata dia, para hakim memulai membahas perkara tersebut pada 5 Juni 2023 namun belum menyatakan posisi hukumnya.
Pembahasan yang intens, kata dia, baru dilakukan para hakim tanggal 7 Juni 2023.
"Dan pada hari itu, tanggal 7 Juni, yang itu bisa dilihat di putusan hari itulah baru diputuskan posisi masing-masing hakim, dan ketika dilakukan RPH pada tanggal 7 Juni itu, sidang RPH hanya dihadiri oleh 8 hakim konstitusi," kata Saldi.
Fakta kedua, kata dia, terkait posisi hakim.
Dalam unggahan Denny, kata Saldi, posisi hakim dinyatakan 6-3 dengan keputusan mengabulkan permohonan.
Padahal, faktanya posisi hakim hari ini adalah 7-1.
"Posisi hakim hari ini ternyata 7-1. Jadi sidang pengambilan putusan itu, RPH itu hanya diikuti oleh 8 hakim konstitusi," kata dia.
"Kami mohon teman-teman bisa menyebarluaskan ini supaya kami bisa terbantu bahwa tidak ada informasi itu keluar," sambung dia.
Baca juga: Bantah Klaim Denny Sistem Pemilu Tertutup Diputuskan 28 Mei 2023, MK: 7 Juni Baru Ada Posisi Hakim
Saldi juga menyampaikan sejimlah alasan mengapa klarifikasi tersebut baru disampaikan MK secara resmi hari ini.
Pertama, kata dia, dalam suasana sensitif, hakim betul-betul fokus dan tidak ingin dulu diganggu oleh situasi ketika membuat posisi hukum.
Kedua, kata dia, apabila MK memberikan respons pada awal-awal polemik mengemuka maka publik akan bisa menafsirkan hasilnya.
"Oh posisi hakim begini posisi hakim begini, hakim ini begini dan kami sengaja menghindari itu," kata dia.
"Makanya kami memilih hari ini kami merespon pernyataan Denny Indrayana bahwa pernyataan itu tidak bener. Pernyataan itu tidak benar," sambung dia.
Sebelumnya, Pakar Hukum Tata Negara Denny Indrayana membocorkan informasi pribadi yang diterima dirinya soal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sistem Pemilu Legislatif.
Denny menyebut, dirinya mendapatkan informasi kalau MK bakal memutuskan gugatan Nomor 114/PPU/XX/2022 terkait sistem pemilu dengan putusan proporsional tertutup.
"Pagi ini saya mendapatkan informasi penting. MK akan memutuskan pemilu legislatif kembali ke sistem proporsional tertutup, kembali memilih tanda gambar partai saja," tulis Denny dalam akun Instagram pribadinya @dennyindryana99, dikutip Minggu (28/5/2023).
Denny menyebut, putusan itu diambil setelah adanya dissenting opinion atau perbedaan pendapat dalam menjatuhkan putusan antara hakim MK.
Dimana jumlah perbandingannya yakni 6 hakim berbanding 3 hakim.
Perihal darimana informasi yang dirinya dapat, Denny tidak membeberkan identitas sosok tersebut. Terpenting kata dia, informasi yang dia terima itu kredibel.
"Siapa sumbernya? Orang yang sangat saya percaya kredibilitasnya, yang pasti bukan Hakim Konstitusi," ucap Denny.
Jika memang pada putusan nantinya MK mengabulkan sistem pemilu dengan proporsional tertutup, maka kata dia sistem pemilu di Indonesia akan kembali ke masa orde baru (orba).
"Maka, kita kembali ke sistem pemilu Orba: otoritarian dan koruptif," kata Denny.
Dalam unggahannya itu juga, Denny menyampaikan kondisi politik tanah air saat ini.
Salah satunya yakni perihal penegakan hukum di Indonesia yang didasari pada putusan MK terkait masa jabatan pimpinan KPK.
"KPK dikuasai, pimpinan cenderung bermasalah yang dihadiahi gratifikasi perpanjangan jabatan 1 tahun," kata Denny.
"PK Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, atas Partai Demokrat, diduga ditukarguling dengan kasus korupsi mafia peradilan di MA. Jika Demokrat berhasil "dicopet", Istilah Gus Romi PPP, maka pencapresan Anies Baswedan hampir pasti gagal," sambungnya.
"Masihkah ada harapan? Yang pasti terus ikhtiar berjuang, sambil menanti kemukjizatan. Salam integritas!" tutup Denny.