TRIBUNNEWS.COM JAKARTA - Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI merespons soal Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyebutkan soal maraknya politik uang mau apapun sistem pemilu yang digunakan.
Sehingga, MK meminta Bawaslu untuk bertindak lebih tegas lagi dalam melakukan pengawasan selalu penyelenggara pemilu.
Namun begitu, Ketua Bawaslu RI menegaskan potensi politik uang terjadi bukan hanya terbatas dari sistem pemilu, tapi juga sistem hukum.
"Jadi bukan sistem (pemilu). Sistem hukum berpengaruh atau tidak? Kalau kita lihat misalnya sistem penegakan hukumnya pada saat sama, tapi konteks UU agak berbeda," kata Bagja ditemui di kawasan Kantor KPU RI, Jakarta, Jumat (16/6/2023).
Kemudian, Bagja juga menegaskan, urusan politik uang dalam kampanye bukan hanya urusan Bawaslu, tapi juga lembaga lainnya seperti kepolisian dan kejaksaan.
"Ada tiga lembaga, Bawaslu, polisi, dan jaksa. Bawaslu sebagai titik pertama dalam menemukan temuan dan laporan, oleh sebab itu kami mengharapkan masyarakat juga ikut," ujarnya.
Diketahui, MK menyatakan, sistem pemilihan umum apapun sama-sama berpotensi terjadinya praktik politik uang.
Hal itu disampaikan Hakim Konstitusi Saldi Isra, dalam siang pengucapan putusan sistem pemilu, di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (15/6/2023).
Baca juga: Respons KPU Soal MK Ingatkan Politik Uang Bisa Terjadi di Sistem Pemilu Apapun
"Para pemohon juga mendalilkan dengan diselenggarakan pemilihan umum dengan sistem proporsional daftar terbuka telah memperluas terjadinya praktik politik uang atau money politics dan tindak pidana korupsi. Berkenaan dengan dalil a quo, Mahkamah berpendapat pilihan terhadap sistem pemilihan umum apapun sama-sama berpotensi terjadinya praktik politik uang," kata Saldi Isra, dalam persidangan.