TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Manajer Hubungan Pemerintahan PT Madinah Qurataain, Dwi Partono hadir sebagai saksi dalam sidang lanjutan kasus dugaan pencemaran nama baik Menko Marves Luhut Binsar Panjaitan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Senin (19/6/2023).
Dalam kesaksiannya tersebut Dwi mengatakan bahwa pihaknya sempat menjajaki rencana kerjasama dengan anak perusahaan Luhut yakni PT Tobacom Del Mandiri pada 5 Oktober 2016 lalu.
Dijelaskan Dwi, pada saat itu dirinya bersama Presiden Direktur PT Madinah Qurataain Vincent Savage beserta satu orang direktur melakukan pertemuan dengan pihak PT Tobacom Del Mandiri.
"Yang dibahas dalam pertemuan tersebut adalah rencana kerjasama dengan antara PT Tobacom Del Mandiri dan PT Madinah terkait Darewo Projek," kata Dwi di persidangan.
Dalam pertemuan itu dikatakan Dwi menghasilkan berupa empat kesepakatan kedua belah pihak yang hanya dituangkan dalam minutes of meeting dalam rapat tersebut.
Adapun empat kesepakatan itu sebagai syarat untuk PT Tobacom terkait persetujuan dari PT Madinah Qurataain yang akan memberikan 30 persen sahamnya kepada PT Tobacom Del Mandiri.
"Yaitu untuk mendapatkan sertifikat clean and clear dari ESDM, mendapatkan izin pinjam pakai kawasan hutan, memberikan akses PT Madinah ke lokasi PT Madinah dan membiayai operasional lapangan dan kantor," jelas Dwi.
Lanjut Dwi, selang dua hari pertemuan tersebut, pihak Tobacom Del Mandiri melalui Paulus Suparananto disebut mengirimkan notulensi melalui email perihal hasil kesepakatan yang sudah ditandatangani oleh Paulus.
Namun saat itu pihak PT Madinah menolak untuk menandatangani surat notulensi tersebut lantaran dinilai PT Tobacom tak menjalankan syarat yang telah disepakati.
"Dimana dalam surat nomor 2 ditegaskan Tobacom Del Mandiri memimta 30 persen saham dari PT Madinah karena sudah melakukan sesuatu hal, padahal itu tidak dilakukan oleh PT Tobacom Del Mandiri," sebutnya.
Jaksa pun menanyakan perihal suatu hal apa yang dimaksud oleh Dwi yang tidak dilakukan oleh PT Tobacom.
"Hal sesuatu apa?," tanya Jaksa.
"Mendapatkan sertifikat clear and clear," jawab Dwi.
Sebagaimana informasi, dalam perkara dugaan pencemaran nama baik ini, Haris Azhar didakwa Pasal 27 ayat (3) junto Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana diubah dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Pidana.
Kemudian Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Pidana.
Baca juga: Sidang Haris-Fatia vs Lord Luhut Ungkap Fakta Polisi Amankan Aset Perusahaan Tambang Swasta di Papua
Selanjutnya Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 terang Peraturan Hukum Pidana jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Pidana.
Terakhir Pasal 310 ayat (1) KUHPidana jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
Sementara Fatia didakwa semua pasal yang menjerat Haris Azhar. Kecuali Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Pidana.