Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tingkat perceraian suami-istri akhir-akhir ini meningkat pesat, terutama saat masa-masa pandemi Covid-19 melanda Indonesia.
Hal ini membuat Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Dr. (H.C) dr. Hasto Wardoyo, Sp.O.G (K) ikut sedih.
"Meningkat pesat akhir-akhir ini. Sampai 2022 kami sedih, perceraian terjadi lebih 500 ribu setiap tahun," kata Hasto pada talkshow sekaligus acara pemberian penghargaan inspirator dan penggerak cegah stunting di Studio 1 Kompas TV, Jakarta, pada Senin (17/7/2023).
Padahal pernikahan hanya terjadi 1,9 juta tiap tahunnya.
Baca juga: Indra Bekti Tak Bisa Lupakan Kenangan Romantis dengan Aldilla Jelita, Akui Galau Saat Putuskan Cerai
Menurut Hasto, dalam hal ini peran istri atau ibu penting sekali untuk mencegah terjadinya perceraian.
"Karena 75 persen yang minta cerai perempuan. Ini bukan berarti perempuannya yang tidak benar, berarti bapak-bapak kurang tanggung jawab sampai membuat istri tidak nyaman minta cerai," tutur Hasto lagi.
Dan menurut pengamatan lebih lanjut ternyata mayoritas alasan perempuan meminta cerai karena konflik kecil-kecil yang bekerpanjangan.
Oleh karena itu menurut Hasto hubungan antar suami istri harus dengan perasaan.
"Kalau logika debat terus. Mencari solusi dengan perasaan. Bukan cari kemenangan. Kalau mencari kemenangan dengan logika," kata Hasto menambahkan.
Sebagai contoh, ketika ada rasa ketidakcocokan dengan pasanganmaka jelaskan dengan perasaan yang lemah lembut.
"Kalau ngomong seperti 'kamu tidak menghargai saya, kamu enak-enak di rumah, saya sudah cari uang, wah itu perang. Saya juga nyuci baju mu, semua. Itu berdebat Jadinya itu logika. Bukan perasaan," urai Hasto.
Lebih lanjut Hasto menjelaskan alasan kedua perceraian yaitu karena faktor ekonomi.
Ketiga meninggal salah satunya, entah itu istri atau suami.
Barulah urutan keempat penyebab perceraian adalah kekerasan dalam rumah tangga.