TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Jenderal Protokol dan Konsuler Kementerian Luar Negeri (Kemlu), Andy Rachmianto menceritakan asal muasal kasus online scamming yang diketahui pemerintah RI muncul dari Kamboja, tepatnya di kota bernama Sihanoukville.
Dari kota itu awal mula Kemlu menerima laporan adanya WNI yang disekap dan menjadi korban perusahaan online scam.
Tahun berjalan, kasus ini ternyata juga terjadi di negara-negara sekitar Kamboja seperti di Myanmar, Laos, Vietnam, Filipina.
"Kasus ini terus menyebar seperti virus, bahkan sudah ada yang jauh," kata Andy pada diskusi bertajuk Pencegahan Kasus Online Scamming dan Pelindungan WNI di Luar Negeri secara hybrid dari Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Jumat (21/7/2023).
"Ada kasus online scamming juga yang kita temukan di Timur Tengah khususnya di Uni Emirat Arab (UEA). Jadi korbannya dijanjikan bekerja di UEA. tapi akhirnya datangnya ke Myanmar atau ke Kamboja, dan terlibat dalam kejahatan online scam," lanjutnya.
Kasus TPPO dengan modus online scam baru mulai muncul 2 hingga 3 tahun yang lalu, pada saat dunia menghadapi pandemi covid-19.
Saat pandemi Covid-19, peluang kesempatan kerja di tanah air menjadi sangat terbatas.
Tersebarnya iklan-iklan lowongan kerja di sosmed dengan gaji yang menggiurkan akhirnya memikat banyaknya WNI yang membutuhkan pekerjaan.
"Kasus-kasusnya masih terus terjadi hingga detik ini. Catatan yang ada pada Kemlu dalam 2 tahun terakhir, sudah lebih dari 2.400 kasus korban online scam yang ditangani," ujarnya.
Dirjen Kemlu menyebut masih ratusan lagi kasus yang sedang ditangani Kemlu di berbagai negara di kawasan Asia Tenggara.
"Kalau kita bandingkan tahun 2021, kasus semacam ini belum sampai 200 kasus. Jadi lonjakannya luar biasa. Hanya dalam waktu kurang lebih 2 tahun, ini cakupannya sangat luar biasa, magnitudonya juga luar biasa dan terjadi di negara-negara tetangga Indonesia," lanjutnya.
Andy mengatakan Kemlu sebagai garda terdepan dalam upaya pelindungan WNI di luar negeri terus berupaya semaksimal mungkin untuk mencegah terjadinya kasus berulang.
Namun pihaknya menyadari bahwa tidak bisa bekerja sendiri, mengingat magnitude dari masalah dan kompleksitasnya terkait dengan kejahatan TPPO dengan modus online scamming ini.
"Kami sudah mengundang 13 kementerian lembaga, termasuk Mabes Polri, untuk kita ajak duduk bersama, merapatkan barisan, bagaimana untuk menyikapi kasus online scamming ini," kata Andy.
Baca juga: 7 Fakta Terbongkarnya Sindikat TPPO Jual Beli Ginjal di Kamboja
Pemerintah Indonesia juga bekerja sama dengan organisasi yang berkantor di Bangkok Thailand, bernama Bali Process untuk melakukan kajian dan memberikan rekomendasi agar kementerian lembaga terkait bisa mengatasi kasus online scamming dari hulu ke hilir.
"Rekomendasi yang disampaikan kepada kita akan menjadi pedoman bagi kita untuk menyusun strategi dan kebijakan yang tepat dalam menghadapi, mencegah, memberantas TPPO online scamming," ujarnya.
Statistik korban TPPO online scamming kebanyakan mereka dari kalangan terdidik, dengan gelar S1 dan S2.
Andy mengatakan kasus online scamming ini modusnya berbeda, dimana sindikat menggunakan jaringan yang canggih.
Para sindikat menggunakan sarana-sarana teknologi yang dekat dengan kalangan-kalangan terdidik seperti mahasiswa.
"Kami berharap adik-adik mahasiswa, generasi milenial yang sangat dekat dengan perangkat teknologi dan dunia maya, bisa memahami, sehingga tidak mudah tergiur oleh iklan-iklan atau penawaran-penawaran pekerjaan khususnya di luar negeri," ujarnya.