Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Anis Matta menegaskan, agenda keumatan dalam pemilihan presiden (Pilpres) 2024 harus disesuaikan dengan konteks geopolitik.
"Kenapa, karena sekarang ini kita sedang menghadapi situasi yang sangat kacau. Dunia kita ini benar-benar berantakan sangat kacau, dibawah ancaman perang" kata Anis Matta dalam keterangannya, Selasa (25/7/2023).
Anis Matta mengatakan, dominasi Amerika Serikat (AS) sebagai kekuatan global pelan-pelan mengalami penurunan.
Hal ini menyebabkan konflik supremasi, serta memicu krisis fundamantel seperti ekonomi, pangan dan energi.
Baca juga: Partai Gelora Yakin Lolos Parliamentary Threshold Minimal 4 Persen
"Kita tidak sedang menakut-nakuti, tapi kita bicara tentang realitas. Dimana situasi geopolitik ini, akan mengubah seluruh pertarungan global, sementara di tengah situasi yang sangat kacau ini, ada Pilpres 2024. Lalu, bagaimana kita menghadapinya," ujar Anis Matta.
Menurut Anis Matta, Islam telah mengajarkan mengenai pentingnya memahami situasi geopolitik, yakni ketika ada perintah turunnya wahyu dalam Al Qur'an, Surat Ar-Rum pada tahun ke-7 kenabian Rasulullah SAW.
Baca juga: Partai Gelora Minta Tokoh yang Maju Pilpres Pastikan Pemilu 2024 Berjalan Damai
"Jumlah Umat Islam saat itu, masih puluhan dan coba bayangkan Rasullah SAW tiba-tiba mendapatkan wahyu tentang bangsa lain yang sedang berkuasa pada waktu itu, yaitu bangsa Romawi," katanya.
Allah SWT, kata Anis Matta, telah mengajarkan pertarungan dua bangsa besar saat itu, yaitu Persia dan Romawi.
Dalam perjalanan sejarah, Umat Islam akan bertemu dengan bangsa namanya Romawi.
"Dan kira-kira 6 tahun setelah turunnya Surat Ar-Rum ini, Umat Islam bertemu dalam perang dengan bangsa Romawi. Artinya ada pelajaran akidah dan iman dalam pelajaran tentang geopolitik," katanya.
Menurut Anis, Allah SWT ingin menyampaikan pesan yang sangat kuat tentang pelajaran hidup dalam berpolitik kepada Umat Islam.
"Nah, kalau sekarang kita bawa dalam konteks geopolitik saat ini, tentu menjadi tantangan bagi seluruh bangsa. Karena setiap bangsa akan berusaha bisa survive," ujarnya.
Karena itu, disinilah pentingnya agenda keumatan diperjuangkan agar pemimpin yang dihasilkan dapat memahami situasi geopolitik dan mampu menjawab tantangan global.
"Tetapi secara politik, Umat Islam saat ini masih menghadapi masalah mindset, masalah narasi dan masalah kepemimpinan. Inilah kendala kita dalam menetapkan agenda keumatan," katanya.
Padahal Indonesia adalah negara ke-4 terbesar di dunia secara populasi, sementara dalam konteks agama adalah negara dengan jumlah Umat Islam terbesar di dunia.
"Jadi Umat Islam di Indonesia itu punya masalah mindset. Mayoritas secara populasi, tetapi minoritas dalam mindsetnya, hanya mewakili kelompoknya. Jadi ini jawaban, kenapa partai-partai Islam itu selalu menjalankan politik identitas, karena dia ingin mewakili kelompoknya," ujarnya.
"Ada kelompok Islam kota, kelompok Islam tradisional, kelompok Islam modern dan lain-lain. Dia kan mayoritas, tapi berpikirnya minoritas. Semangatnya hanya mewakili kelompok, bukan mewakili Indonesia," imbuhnya.
Anis Matta berharap Umat Islam belajar dari pelajaran Piagam Madinah, dimana Rasulullah SAW menganggap semua penduduk di Madinah sebagai Umat, termasuk orang-orang Yahudi karena memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam hal kewarganegaraan.
"Mumpung kita dalam suasana hijrah, sekarang kita harus hijrah dari mindset minoritas kepada mindset mayoritas. Itulah pelajaran yang kita dapat dari Rasulullah SAW saat hijrah dari Mekkah ke Madinah," katanya.
Dengan mindset mayoritas itu, lanjutnya, Islam akhirnya menguasai dunia, berlanjut kepada kekuasaan Bani Umayyah, Abbasiyah hingga Utsmaniyah.
"Jadi sekarang sudah saatnya Umat Islam ini hijrah dari mindset minoritas kepada mindset mayoritas. Dari semangat outsider sebagai orang luar menjadi Insider, orang dalam. Kita harus mengelola negara ini, karena kitalah yang mayoritas," katanya.
Maknanya adalah Umat Islam harus menjalankan politik populasi seluruh bangsa, baik yang muslim maupun non muslim seperti semangat yang ada dalam Piagam Madinah.
"Umat Islam sekarang tidak ada yang membawa solusi bagi masalah bersama mengenai berbagai isu. Berpikirnya selalu mewakili kelompok, sehingga tidak ada yang membawa narasi Islam secara konseptual. Semua orang membawa Islam hanya sebagai simbol saja," katanya.
Tetapi, krisis narasi ini sebenarnya, terjadi pada kita sebagai bangsa Indonesia. Apakah itu muslimnya, apakah yang sekuler, yang kanan, tengah dan kiri semua memang mengalami krisis narasi.
"Jadi ketika kita bicara siapa pemimpin kita nanti, kita selalu dihadapkan pada persoalan narasi dan kepemimpinan. Inilah yang menyebabkan kenapa umat Islam mayoritas di sini, tapi Partai Islam selalu kecil perolehan suaranya, tidak lebih dari 20 persen karena mereka tidak mau menawarkan narasi," ucapnya.
Akibatnya, tidak ada calon pemimpin yang didukung penuh dari kelompok kanan. Oleh karena itu, Umat Islam harus melakukan hijrah mindset, baru kemudian menawarkan narasi.
Dengan narasi itu, maka akan ada calon pemimpin yang membawa politik populasi, tidak lagi mewakili kelompok lagi.
"Kalau kita membawa semangat Indonesia, maka kita harus membawa politik populasi. Kita harus membawa Islam sebagai jawaban, meskipun kita tidak akan menemukan pemimpin yang sempurna. Kita tidak sedang memilih Superman atau Iron Man, tetapi kita mencari pemimpin untuk semua umat," pungkas Anis Matta.