Laporan Wartawan Tribunnews.com Ashri Fadilla
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kejaksaan Agung berjanji akan independen dalam penanganan perakara korupsi pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) serta produk turunannya, termasuk minyak goreng.
Sebab dalam perkara itu, terdapat dua tokoh publik yang menjadi sorotan, yakni Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto dan mantan Menteri Perdagangan, Muhammad Lutfi.
Keduanya diketahui terafiliasi, baik secara langsung maupun tak langsung dengan partai politik.
Teruntuk Airlangga Hartarto, sudah diperiksa Kejaksaan Agung pada Senin (24/7/2023) lalu.
Sementara M Lutfi dijadwalkan untuk diperiksa Selasa (2/8/2023) nanti.
Pemeriksaan itu diklaim Kejaksaan Agung bukan berdasarkan pesanan politik.
"Kita tidak memanggil seseorang berdasarkan tekanan, pesanan maupun isu ataupun rumor. Pemanggilan AH dan ML sama sekali tidak ada kaitannya dengan politisasi," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Ketut Sumedana, Minggu (30/7/2023).
Menurut Ketut, pemanggilan Airlangga dan Lutfi murni untuk penegakan hukum.
Katanya, keterangan mereka dibutuhkan untuk membuka perkara CPO yang telah mentapkan 5 terpidana perorangan dan 3 tersangka korporasi.
"Untuk mendudukkan persoalan hukum tersebut secara terang menderang dan obyektif terkait kebijakan diambil ditengah kelangkaan minyak goreng pada saat itu maka diperlukan pemanggilan yang bersangkutan," katanya.
Selain Airlangga dan Lutfi, Kejaksaan Agung juga membuka peluang untuk memeriksa tokoh-tokoh lain dalam perkara ini.
"Untuk kepentingan penyidikan, siapapun bisa dipanggil untuk memberikan keterangan."
Dalam perkara korupsi minyak goreng ini, Kejaksaan Agung sudah menetapkan tiga tersangka korporasi pada penyidikan jilid 2, yakni: Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group.
Sementara para terdakwa perorangan hasil penyidikan jilid 1 yang kini telah menjadi terpidana, telah divonis hukuman berbeda-beda oleh Majelis Hakim.
Mereka ialah: mantan Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Indra Sari Wisnu Wardhana; Senior Manager Corporate Affair Permata Hijau Group Stanley MA; Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia, Master Parulian Tumanggor; General Manager PT Musim Mas, Pierre Togar Sitanggang; dan Penasihat Kebijakan Independent Research & Advisory Indonesia (IRAI), Lin Che Wei alias Weibinanto Halimdjati.
Pada pengadilan tingkat pertama, Indrasari Wisnu Wardhana dijatuhi hukuman tiga tahun penjara
Kemudian Master Parulian dijatuhi hukuman satu tahun enam bulan penjara.
Lalu Lin Che Wei, Stanley MA, dan Pierre divonis satu tahun penjara.
Selain itu, Majelis Hakim juga menjatuhkan hukuman berupa denda. Masing-masing dijatuhi hukuman denda Rp 100 juta atau penjara dua bulan.
Kemudian dalam putusan banding, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menguatkan vonis pada pengadilan tingkat pertama.
Sementara dalam tingkat kasasi, Majelis memutuskan untuk memperberat hukuman kelimanya.
Majelis Kasasi menjatuhkan hukuman 8 tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsidair 6 bulan kurungan bagi Indra Sari Wisnu Wardhana.
Kemudian Lin Che Wei divonis 7 tahun penjara dan denda Rp 250 juta subsidair 6 bulan kurungan.
Adapun Master Parulian dan Pierre Togar Sitanggang dijatuhi hukuman 6 tahun penjara serta denda Rp 200 juta subsidair 6 bulan kurungan.
Sementara Stanley MA menjadi terpidana yang paling ringan vonis kasasinya, yaitu 5 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsidair 6 bulan kurungan.