"Selain itu, terdapat 2.021 kasus kekerasan fisik dan psikis, serta 1.609 kasus kekerasan ekonomi," sambungnya.
Akan tetapi kata Lita, pemerintah dan DPR yang merupakan wakil rakyat serasa abai dengan kondisi tersebut.
Padahal menurut dia, RUU PPRT itu sudah selama 19 tahun atau hampir 4 periode kepempimpinan presiden selalu dibahas dan didesak untuk disahkan.
Namun, hingga kini aliansi pekerja rumah tangga tersebut kata dia, belum mendapatkan kepastian hingga kapan RUU itu bisa disahkan.
"DPR justru menyandera pembahasan RUU PRT selama hampir dua dekade. Ini justru memunculkan indikasi bahwa Indonesia masih mengamini praktik pernikahan modern dengan membiarkan jutaan PRT bekerja tanpa perlindungan hukum," ujar dia.
Atas hal itu, Lita memandang penting aksi mogok makan dilakukan oleh aliansi PRT dalam hal merespons lambannya proses pembahasan dan pengesahan RUU PPRT tersebut.
Tak hanya para pekerja rumah tangga, berbagai elemen masyarakat sipil, mulai dari LBH hingga mahasiswa juga akan turut melakukan aksi yang rencananya digelar mulai 14 Agustus 2023 hingga disahkannya RUU PPRT itu.
"Aksi Mogok Makan sendiri dipilih sebagai simbolisasi keprihatinan dan solidaritas kepada para PRT yang korban penyanderaan dalam kelaparan tak terlihat," kata dia.
"Penundaan pembahasan dan pengesahan RUU PPRT sama artinya dengan pembuatan praktik penyanderaan terhadap PRT," tukas Lita.