TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pusat Polisi Militer TNI AD (Puspomad) menyatakan anggota Kodam I Bukit Barisan, Sumatera Utara, Mayor Dedi Hasibuan tidak melakukan tindak pidana dalam peristiwa penggerudukan Mapolrestabes Medan.
Mayor Dedi pun dikembalikan ke satuannya untuk diproses dugaan melakukan tindak disiplin.
Keputusan itu ditetapkan setelahh Puspomad mengklarifikasi Mayor Dedi yang sempat menuntut agar kerabatnya ditangguhkan penahanannya oleh penyidik Polrestabes Medan.
Seperti diberitakan sebelumnya, ARH dijadikan tersangka karena diduga terlibat mafia tanah.
"Setelah melalui pendalaman di Puspom TNI dan Puspom AD, tidak ditemukan unsur pelanggaran pidananya sehingga diserahkan lagi ke Kodam I/BB," ungkap Kepala Dinas Penerangan TNI AD, Brigjen Hamim Tohari.
Menyikapi hal itu, Gufron Mabruri, Direktur Imparsial, yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil bersama Imparsial, PBHI, Kontras, Centra Initiative, Elsam, Forum de Facto, hingga Setara Institute, angkat suara.
"Kami memandang, hasil proses penyelidikan Puspom TNI dan Puspomad TNI yang tidak memproses pidana Mayor Dedi semakin menegaskan bahwa mekanisme penegakan hukum oleh internal TNI sudah seharusnya direformasi," katanya Selasa (15/8/2023).
"Sudah saatnya Aparat TNI sebagai alat pertahanan negara diposisikan setara di mata hukum tanpa ada pengistimewaan dalam hal pelanggaran pidana umum sebagaimana warga negara Indonesia lainnya."
Menurutnya, pengistimewaan bagi aparat TNI yang melanggar hukum dengan diproses oleh sesama aparat TNI lainnya terbukti melanggar Pasal 27 ayat 1 : "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
Apalagi, menurutnya, dalam beberapa kasus terbukti tidak memberikan keadilan dan justru malah menjadi sarana impunitas untuk melindungi sesama anggota TNI.
Ia mengingatkan, tindakan Mayor Dedi yang datang beramai-ramai dan menggeruduk Mapolrestabes Medan untuk mempengaruhi jalannya proses hukum tidak hanya jelas-jelas telah menyalahi kewenangannya tetapi juga merupakan bentuk nyata intimidasi terhadap penyidik dan karenanya merupakan sebuah tindakan obstruction of justice.
"Pertama, tindakan Mayor Dedi diluar dari kewenangannya sebagai aparat TNI dan tidak memiliki dasar hukum. Dalam konferensi pers Mabes TNI tanggal 10 Agustus 2023, Kababinkum menyebutkan, kewenangan pemberian bantuan hukum oleh TNI didasarkan pada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 2 Tahun 1971," katanya.
Ia menyatakan, pernyataan tersebut justru keliru karena SEMA No. 2 Tahun 1971 justru sebenarnya melarang prajurit TNI menjadi penasihat hukum di Pengadilan Umum, kecuali atas izin khusus dari atasannya dan memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 12 tahun 1952 yang sejatinya telah berulang kali dicabut.
"PP No. 12 tahun 1952 telah dicabut melalui PP No. 6 tahun 74, yang juga telah dicabut melaui PP No. 53 tahun 2010, yang juga telah dicabut melalui PP No. 94 tahun 2021. Dimana dalam PP No. 94 tahun 2021 tidak ada lagi pemberian izin sebagaimana dimaksud dalam SEMA No. 2 tahun 1971. Atas dasar itu, sesungguhnya argumentasi Kababinkum yang bersandar pada pada SEMA No. 2 tahun 1971 sudah kehilangan pijakan hukumnya."