Laporan wartawan Tribunnews.com, Fahdi Fahlevi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan eks Direktur Utama (Dirut) PT Pertamina (Persero) Galaila Karen Kardinah alias Karen Agustiawan sebagai tersangka korupsi.
Menanggapi penetapan tersangka Karen tersebut, Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS), Marwan Batubara, mengungkapkan selama ini Karen bekerja hanya untuk kepentingan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Dirinya mengungkapkan Karen pernah menolak memperpanjang kontrak kerja perusahaan Prancis, Total Oil di Blok Mahakam.
"Itu kan poin bagus. Soal agenda di balik itu, hanya untuk kepentingan BUMN saja,” ujar Marwan, Kamis (21/9/2023).
Marwan mengatakan sikap Karen menunjukkan keinginan publik untuk memberikan pengelolaan Blok Mahakam ke Pertamina, karena sudah mampu.
Saat itu, Karen sudah menyurati menteri ESDM saat itu menyatakan Pertamina mampu mengerjakan Blok Mahakam.
“Jadi, dia memang profesional,” tutur Marwan
Karen, menurut Marwan, pada saat itu juga menerapkan keterbukaan informasi publik sehingga masyarakat mengetahui duduk perkara sesungguhnya dari masalah Blok Mahakam tersebut.
Sementara itu, Dewan Penasihat Asosiasi Panasbumi Indonesia (API) Abadi Poernomo menilai Karen sosok yang sering terlalu berani mengambil keputusan. Banyak di antara keputusan tersebut yang menguntungkan Pertamina, meski ada juga yang tidak.
“Era Karen, waktu itu juga mendapat penghargaan Fortune Global 500,” lanjutnya.
Abadi juga menyoroti Karen sebagai perempuan pertama yang menjabat Direktur Utama (Dirut) Pertamina.
Seperti diketahui, Karen menjabat Dirut Pertamina dalam periode 2009-2014. Sedangkan Dirut sebelumnya, paling lama hanya dua tahun saja dan selalu dijabat pria.
Konstruksi Perkara
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan eks Direktur Utama (Dirut) PT Pertamina (Persero) Galaila Karen Kardinah alias Karen Agustiawan sebagai tersangka korupsi.
Dirut Pertamina periode 2009-2014 itu dijerat atas kasus dugaan korupsi pengadaan liquefied natural gas (LNG) di Pertamina tahun 2011-2021.
Ketua KPK Firli Bahuri menyebut kasus ini bermula sekitar tahun 2012, ketika PT Pertamina memiliki rencana untuk mengadakan LNG sebagai alternatif mengatasi terjadinya defisit gas di Indonesia.
Perkiraan defisit gas akan terjadi di Indonesia di kurun waktu 2009-2040 sehingga diperlukan pengadaan LNG untuk memenuhi kebutuhan PT PLN (Persero), Industri Pupuk dan Industri Petrokimia lainnya di Indonesia.
"GKK alias KA yang diangkat sebagai Direktur Utama PT Pertamina Persero periode 2009-2014 kemudian mengeluarkan kebijakan untuk menjalin kerja sama dengan beberapa produsen dan supplier LNG yang ada di luar negeri di antaranya perusahaan CCL (Corpus Christi Liquefaction, tidak dibacakan) LLC Amerika Serikat," kata Firli.