Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ashri Fadilla
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Gugatan class action para orang tua koban Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal (GGAPA) bakal kembali bergulir di meja hijau, Senin (2/10/2023).
Agenda persidangan lanjutan perkara perdata ini yaitu putusan sela oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
"Senin, 02 Oktober 2023. 11:20:00 sampai dengan Selesai. Putusan Sela," dikutip dari SIPP Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Minggu (1/10/2023).
Putusan sela itu tak akan dibacakan Majelis Hakim di ruang persidangan sebagaimana biasanya, melainkan melalui e-court.
"Besok putusan sela soal kompetensi pengadilan. Tapi e-court. Jadi enggak ada yang ke PN," kuasa hukum para orang tua korban, Siti Habibah saat dihubungi, Minggu (1/10/2023).
Baca juga: Sidang Class Action Gagal Ginjal Akut pada Anak: Keluarga Tagih Janji Santunan dari Pemerintah
Sebagai kuasa hukum para orang tua korban, Habibah memastikan bahwa pihaknya takkan mencabut gugatan yang telah dilayangkan.
Hal itu menanggapi kesediaan pemerintah untuk memberikan bantuan bagi para korban terdampak GGAPA, sebagaimana disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy melalui keterangan tertulis, Jumat (29/9/2023).
Sebab menurut Hahibah, para orang tua korban dalam perkara ini menuntut ganti rugi yang dianggap berbeda dengan bantuan.
Baca juga: Sidang Class Action Gagal Ginjal Akut pada Anak: Keluarga Tagih Janji Santunan dari Pemerintah
"Santunan beda sama ganti kerugiaan. Karena tuntutan kami ganti kerugian, jadi tidak akan berpengaruh," katanya.
Adapun nilai ganti rugi yang dituntut dalam perkara ini ialah Rp 4,9 juta setiap bulan kepada pemerintah dan pihak tergugat lainnya.
Selain itu, orang tua korban juga memohon kompensasi dari biaya yang ditimbulkan di luar ketentuan BPJS Kesehatan.
"Intinya adalah anggaran yang menunjang kesehatan korban anak gagal ginjal untuk hidup lebih baik,” kata kuasa hukum orang tua korban, Rusdianto Matulatuwa dalam keterangannya, Jumat (23/6/2023).
Total uang yang dimohonkan itu akan digunakan untuk kebutuhan perawatan dan pengobatan para korban.
Nantinya kompensasi tersebut tak mesti dibayarkan seumur hidup, melainkan hahya sampai para korban sembuh.
"Misalnya, uang tersebut akan dibelikan kebutuhan kesehatan anak seperti pembelian kasa steril, obat-obatan, dan biaya akomodasi ke rumah sakit sebanyak 2-3 kali dalam rangka melakukan proses penyembuhan akibat dari komplikasi tindakan hemodialisis atau cuci darah rutin," katanya.
Tak hanya dari sisi pengobatan, nasib orang tua yang kehilangan pekerjaan demi merawat anak-anaknya yang terkena GGAPA pun turut menjadi pertimbangan.
“Orang tuanya mengalami kendala dalam bekerja karena tidak bisa meninggalkan anaknya dalam waktu yang lama," ujarnya.
Dalam perkara perdata GGAPA ini, para orang tua korban menggugat 10 pihak. Mereka ialah: Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), PT Afi Farma Pharmaceutical Industry, PT Universal Pharmaceutical Industry, CV Samudera Chemical, PT Tirta Buana Kemindo, CV Mega Integra, PT Logicom Solution, CV Budiarta, dan PT Megasetia Agung Kimia.
Sementara Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menjadi pihak yang terkait dalam perkara ini.