TRIBUNNEWS.COM - Mahkamah Konstitusi (MK) akan membentuk Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Ad Hoc guna menangani sejumlah laporan dugaan pelanggaran kode etik hakim.
Sebanyak tiga orang telah ditunjuk sebagai anggota MKMK Ad Hoc.
Ketiganya yaitu Jimly Asshiddiqie, Bintan Saragih dan Wahiduddin Adams.
Pembentukan MKMK Ad Hoc ini merupakan tindak lanjut dari laporan sejumlah pihak terkait dugaan pelanggaran kode etik hakim MK.
Berikut sosok tiga anggota MKMK Ad Hoc yang ditunjuk untuk menangani dugaan pelanggaran kode etik hakim konstitusi:
Baca juga: Sikap MK soal 7 Laporan Terkait Dugaan Pelanggaran Kode Etik Hakim
1. Jimly Asshidiqie
Jimly Asshidiqie pernah menjabat sebagai ketua MK periode 2003-2008.
Mengutip dari situs resmi MK, Jimly Asshidiqie mengawali karier sebagai pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia sejak 1981.
Jimly kemudian diangkat sebagai Guru Besar Hukum Tata Negara pada 1998.
Sejak 2002, status Jimly berubah menjadi Guru Luar Biasa Hukum Tata Negara pada Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK).
Jimly juga aktif di beberapa organisasi, seperti Anggota Dewan Pimpinan Pusat Majelis Ulama Indonesia (MUI) periode 1985-2000, Wakil Ketua Dewan Pembina The Habibie Center pada 2000, hingga Ketua Dewa Penasihat Ikatan Cendikiwan Muslim se-Indonesia periode 2005 hingga 2010.
Baca juga: Pakar Melihat Ada Nepotisme dari Putusan Gugatan Usia Capres-cawapres di MK, Singgung Hal Ini
Terbaru, Jimly sempat buka suara terkait putusan MK yang mengabulkan gugatan soal batas usia capres dan cawapres.
Dalam putusan tersebut, MK mengabulkan gugatan terkait batas usia minimal capres dan cawapres 40 tahun atau memiliki pengalaman sebagai kepala daerah.
Menurut Jimly, putusan MK tersebut seharusnya berlaku pada Pemilu 2029.
"Pemilu ini sudah jalan, pendaftaran partai sudah, memang pendaftaran capres-cawapres belum, tapi partai pengusung yang sudah disahkan, yang sudah memenuhi syarat sudah disahkah. Jadi tahapan pemilu ini sudah disahkan," ucap Jimly, Selaasa (17/10/2023).
"Aturan baru ini kan enggak bener ya kan, maka aturan baru itu harus diberlakukan yang akan datang bukan pertandingan sekarang. Nah, kalau Pemilu pertandingan selanjutnya ya 2029, mestinya kayak gitu."
2. Bintan R. Saragih
Bintan R Saragih saat ini menjabat sebagai Penasihat Senior Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan (UPH).
Ia merupakan seorang akademisi yang saat ini mengajar mata kuliah Metode Penelitian Hukum, Hukum Tata Negara, Ilmu Negara.
Mengutip dari laman resmi UPH, Bintan R Saragih menempuh pendidikan Sarjana Hukum di Indonesia (UI).
Baca juga: MK Terima 7 Laporan Soal Dugaan Pelanggaran Kode Etik Hakim hingga Minta Anwar Usman Mundur
Sedangkan gelar doktor di bidang Hukum Tata Negara diperolehnya dari Universitas Padjajaran (Unpad).
Bintan Saragih juga pernah menjadi anggota Dewan Etik 2017-2020 sebagai anggota Majelis Kehormatan MK.
3. Wahiduddin Adams
Mengutip dari laman resmi MK, Wahiduddin Adams menjabat sebagai hakim konstitusi sejak 21 Maret 2014 lalu.
Sebelum menjadi hakim konstitusi, Wahiduddin Adams merupakan seorang biroktat di Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham).
Di Kemenkumham, ia sempat menjabat sebagai Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan dari 2010 hingga 2014.
Wahiduddin Adams menempuh pendidikan sarjana di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ia melanjutkan pendidikan dan mendapat gelar Magister Hukum Islam (1991) dan Doktor Hukum Islam (2002) di universitas yang sama.
Baca juga: BREAKING NEWS: MK Bentuk MKMK Ad Hoc Tangani Sejumlah Laporan Dugaan Pelanggaran Etik Hakim
Wahiduddin Adams mendapatkan gelar Sarjana Hukum dari Universitas Muhammadiyah Jakarta pada tahun 2005, tiga tahun selepas ia menyelesaikan program doktoralnya.
Selain itu, ia juga aktif di beberapa organisasi, di antaranya Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), hingga Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS).
Pada Januari 2024, Wahiduddin Adams telah mencapai usia pensiun sebagai hakim konstitusi.
Posisinya akan digantikan oleh politikus PPP, Arsul Sani, yang terpilih dari usulan DPR.
Terbaru, Wahiduddin Adams merupakan hakim yang berbeda pendapat (dissenting opinion) terhadap putusan MK yang mengabulkan gugatan usia capres dan cawapres minimal 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah di tingkat provinsi atau kabupaten/kota.
(Tribunnews.com/Jayanti Tri Utami/Ibriza Fasti)