TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menguak kasus dugaan korupsi pengadaan alat pelindung diri (APD) di Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tahun anggaran 2020-2022, yang terjadi pada masa bencana Covid-19, dan pelakunya berpotensi terancam hukuman mati.
Namun, dari sejumlah kasus dugaan korupsi yang terjadi berkaitan bantuan bencana alam, para pelakunya kerap lolos dari hukuman mati.
Kasus yang kini sedang disidik KPK berupa pengadaan 5 juta APD Covid-19 di Kemenkes tahun anggaran 2020-2022, dengan nilai proyek Rp3,03 triliun.
KPK melansir, kerugian negara akibat tindak pidana korupsi yang dilakukan beberapa orang mencapai ratusan miliaran rupiah.
Dari informasi yang dihimpun, pihak dijerat KPK dalam kasus ini yakni, pejabat pembuat komitmen (PPK) berinisial BSM, Direktur PT Permana Putra Mandiri berinisial AT, dan Direktur Utama PT Energi Kita Indonesia (EKI) berinisial SW.
Dua orang lainnya juga turut disebut dalam kasus ini yakni PSN berinsial HAR dan advokat berinsial AIS.
Kelima orang itu kini telah dicegah bepergian ke luar negeri.
Adapun para tersangka dijerat dengan pasal memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Aturan soal tuntutan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi saat bencana alam diatur dalam Undang-undang Nomor 19 tahun 2019 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Baca juga: Wartawan Diduga Diintimidasi saat Liput Firli Bahuri di Aceh, KPK: Kami Segera Cek ke Sana
Pasal 2
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Bagian Penjelasan UU KPK itu memberi keterangan soal “Keadaan tertentu”.
Penjelasan Pasal 2 ayat (2)
Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.
Pernyataan pelaku korupsi di saat pandemi Covid-19 bisa dihukum mati sebelumnya juga sempat dilontarkan Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango.
Menurut Nawawi, jeratan hukuman mati bisa diterapkan kepada pelaku korupsi yang melakukan tindak pidana korupsi pada saat bencana nasional.
"Benar bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi dalam situasi yang kondisi seperti ini, kondisi di mana negeri lagi menghadapi musibah wabah Covid seperti ini, tentu sangat berharap bahwa tidak ada perilaku-perilaku korupsi yang terjadi dalam kondisi yang serba susah seperti ini, sebagaimana juga yang dibutuhkan di dalam Pasal 2 ayat 2," kata Nawawi dalam jumpa pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Jumat (4/12/2020).
"Bahwa ancaman hukuman mati bisa saja dilakukan pada mereka yang melakukan tindak pidana korupsi di masa ada bencana nasional, bencana sosial dan sebagainya," imbuhnya.
Namun, sejauh ini pihak KPK belum bisa menjawab secara pasti apakah aturan hukuman mati untuk koruptor saat bencana alam akan diterapkan.
Dia bilang bawah penerapan hukuman nantinya akan diterapkan berdasarkan hasil penyidikan.
"Ya itu kan nanti secara teknis dalam penerapan hukum namanya. Kita prosesnya dulu kita lalui dalam proses penyidikan melengkapi berkas perkara, penerapan pasal-pasal, pemenuhan unsur-unsurnya, baru kita nanti bicara berikutnya penerapan hukum," kata juru bicara KPK Ali di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Jumat (10/11/2023).
Menurut Ali, penerapan hukuman juga bergantun pada tim jaksa penuntut umum (JPU) juga majelis hakim.
"Itu nanti secara teknis tentu ada JPU, ada juga hakim PN Tipikor (Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi)," ujarnya.
Namun, dari catatan Tribunnews.com, aturan hukuman mati buat koruptor saat bencana alam ini ternyata tak pernah berhasil menjerat. Berikut daftarnya:
1. Korupsi pengadaan reagen dan consumable untuk penanganan virus flu burung
KPK pernah menjerat sejumlah pihak sebagai tersangka dalam kasus korupsi pengadaan reagen dan consumable untuk penanganan flu burung Direktorat Bina Pelayanan Medik Dasar, Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik Departemen Kesehatan tahun anggaran APBN-P 2007.
Mereka di antaranya Direktur Utama PT Cahaya Prima Cemerlang (CPC) Freddy Lumban Tobing, Ratna Dewi Umar selaku Direktur Bina Pelayanan Medik Dasar Ditjen Bina Pelayanan Medik Depkes, Fadilah Supari selaku Menteri Kesehatan dan Tatat Rahmita Utami selaku Direktur Trading PT Kimia Farma Trading Distribution (KFTD) disebut terlibat dalam perkara ini.
Vonis selama 16 bulan penjara ditambah denda Rp 50 juta subsider 2 bulan kurungan bagi Freddy dan lima tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan bagi Ratna Dewi Umar dijatuhkan hakim pada tersangka dalam perkara ini.
Khusus untuk Siti Fadilah, ia juga terjerat dalam kegiatan pengadaan alat kesehatan (alkes) guna mengantisipasi kejadian luar biasa (KLB) 2005 pada Pusat Penanggulangan Masalah Kesehatan (PPMK) dengan melakukan penunjukan langsung (PL) kepada PT Indofarma Tbk.
Pada persidangan yang digelar pada Jumat 16 Juni 2017 majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan vonis 4 tahun bui kepada Siti Fadilah. Ia juga diwajibkan membayar denda senilai Rp 200 juta subsider 2 bulan kurungan ditambah harus membayar uang pengganti Rp 550 juta subsider 6 bulan kurungan.
2. Korupsi Perbaikan Masjid NTB
Tiga orang pejabat kantor wilayah (Kanwil) Kementerian Agama NTB terbukti bersalah menjadi maling dana perbaikan masjid yang rusak karena gempa Lombok 2018.
Kemenag saat itu mengucurkan dana Rp6 miliar untuk perbaikan 58 masjid di Nusa Tenggara Barat. Tiga pelaku berinisial BA, IK, dan SL (Silmi).
PN Tipikor Mataram menjatuhkan vonis 4 tahun penjara dan denda Rp100 juta subsider dua bulan kurungan.
Vonis hakim ini jauh lebih rendah dari tuntutan jaksa, yaitu 8 tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider dua bulan kurungan.
3. Korupsi Proyek Penyediaan Air Daerah Bencana
Gempa dan tsunami baru melanda Sulawesi Tengah pada 2018. Namun, proyek pembangunan sistem penyediaan air minum (SPAM) di daerah bencana Donggala dan Palu, Sulawesi Tengah menjadi bahan mencari nafkah para maling.
KPK menangkap 4 PNS, yaitu Anggiat Partunggul Nahot Simaremare, Meina Woro Kustinah, Teuku Moch Nazar, dan Donny Sofyan Arifin. Keempatnya menerima suap agar memuluskan tender proyek bagi dua perusahaan.
Empat orang pelaku suap juga ikut tertangkap, yaitu Budi Suharto, Dirut PT WKE, Lily Sundarsih, Direktur PT WKE, Irene Irma, Direktur PT TSP, dan Yuliana Enganita Dibyo, Direktur PT TSP.
Mereka menyuap sebesar Rp 5,3 miliar, USD 5 ribu dan SGD 22.100 atau 10 persen nilai proyek Rp 429 miliar.
Namun, vonis Pengadilan Tipikor Jakarta tak memvonis pelaku dengan hukuman mati pada Rabu (17/7/2019).
Anggiat dituntut hukuman 8 tahun penjara dan denda Rp 400 juta subsider 4 bulan kurungan. Lalu, Meina dituntut 5,5 tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider 3 bulan kurungan.
Nazar dituntut 8 tahun penjara, denda Rp 500 juta subsider 4 bulan kurungan, sedangkan Donny menerima hukuman 5,5 tahun denda Rp 300 juta subsider 3 bulan kurungan.
4. Korupsi Perbaikan Sekolah Mataram
Kejaksaan Negeri (Kejari) Mataram menangkap Muhir, mantan Anggota DPRD Mataram dari Partai Golkar pada 14 September 2018. Muhir terbukti bersalah sebagai maling dana proyek perbaikan setelah gempa Lombok 2018.
Muhir memeras dana proyek senilai Rp4,2 miliar di APBD Perubahan tahun 2018. Dana itu untuk perbaikan 14 gedung SD dan SMP yang rusak karena gempa.
Pengadilan Negeri (PN) Tipikor Mataram akhirnya hanya menjatuhkan vonis 2 tahun penjara dan denda Rp50 juta pada Jumat (1/2/2019)
5. Korupsi Dana Bantuan Tsunami Nias
Pemerintah menggelontorkan dana Rp9,4 miliar untuk penanggulangan bencana tsunami di Nias, Sumatera Utara pada 2006-2008. Namun, mantan Bupati Nias Binahati Benedictus Baeha menilap uang senilai Rp3,7 miliar.
Ia tertangkap bersama beberapa tersangka lain, termasuk anggota DPRD Kabupaten Nias.
Binahati terbukti bersalah menjadi maling di pengadilan. Ia akhirnya menerima vonis 5 tahun penjara dan denda 200 juta subsider 4 bulan kurungan di tingkat kasasi Mahkamah Agung.
Sebelumnya, Binahati menerima vonis 8 tahun penjara di Pengadilan Tipikor Medan, Rabu (13/7/2011).
6. Korupsi Dana Bansos Pandemi Covid-19
Kasus korupsi terkait bantuan bencana alam yang cukup mencengangkan publik justru belum lama ini terjadi karena melibatkan seorang menteri.
Kasus itu bermula saat pihak KPK menangkap 6 orang, termasuk pejabat Kementerian Sosial (Kemensos), pada 5 Desember 2020 .
Setelah dilakukan gelar perkara, KPK menetapkan Menteri Sosial (Mensos), Juliari Peter Batubara, dan empat orang lainnya sebagai tersangka.
Empat orang lainnya yakni 2 Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) bansos Covid-19 Kemensos, Matheus Joko Santoso dan Adi Wahyono; kemudian dua supplier rekanan bansos Covid-19, Ardian I M dan Harry Sidabuke.
Juliari Batubara diduga menerima suap Rp 32,482 miliar terkait bantuan sosial penanganan pandemi Covid-19 untuk wilayah Jabodetabek tahun 2020.
Pada 23 Agustus 2021, Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan vonis 12 tahun penjara dan pidana denda sebesar Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan, karena terbukti menerima suap tersebut.
Juliari juga diwajibkan membayar uang pengganti sejumlah Rp 14.597.450.000, yang apabila tidak diganti maka akan dipidana selama 2 tahun. Di samping itu, hak politik Juliari untuk dipilih dalam jabatan publik juga dicabut selama empat tahun setelah menjalani pidana pokok. (Tribunnews/Kompas.com/Kompas Tv)