TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Eks Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna menolak keras revisi Undang-undang tentang Perubahan Keempat atas Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konsitusi (UU MK).
Palguna menilai, niat mengubah kembali UU MK merupakan upaya melemahkan Mahkamah Konstitusi.
"Itu niat mengubah kembali UU MK, bagi saya itu cuma akal bulusnya para politikus aja itu. Enggak ada sama sekali kepentingannya buat publik apalagi buat MK. Bagi saya itu adalah upaya untuk melemahkan MK," kata Palguna, kepada Tribunnews.com, pada Kamis (30/11/2023).
Adapun revisi UU MK tersebut terkait wacana perubahan syarat batas usia minimal hakim konstitusi dari 55 diubah menjadi 60 tahun. Palguna mempertanyakan, mengapa soal umur terus yang dipersoalkan.
Padahal, menurutnya, ada persoalan substansial yang lebih butuh diatur secara rinci dalam UU MK. Di antaranya yakni soal hukum acara yang belum diatur secara lengkap dan kewenangan Mahkamah Konstitusi yang belum terakomodasi secara baik dalam ketentuan UU MK saat ini.
"Bagaimana coba? Apa masalahnya dengan persoalan umur? Berkali-kali soal umur saja yang diubah, pertama 46 tahun, udah itu 47 tahun, habis itu 55 tahun, sekarang mau 60 tahun, jangan-jangan nanti kakek-kakek yang disuruh jadi hakim konstitusi. Saya enggak ngerti juga," ucap Palguna.
"Tetapi bagi saya persoalannya bukan itu. Ada hal-hal yang lebih substansial selama ini yang memerlukan perubahn di ketentuan di UU MK malah tidak disentuh. Misalnya, soal hukum acara. Hukum acara di UU MK itu belum lengkap, belum seluruh kewenangan dari MK itu terakomodasi secara baik di dalam UU MK, tapi tidak pernah dibicarakan soal itu," sambungnya.
"Kedua, misalnya soal kewenangan yang lebih mendesak, yang perlu diberikan kepada MK dalam rangka penguatan dia sebagai pengawal konstitusi, yaitu pengawalan konkret judicial review atau constitutional question, apalagi constitutional complain, yang tanpa perlu melakukan perubahan UUD, yang bisa dilakukan melalui perubahan UU, itu juga tidak pernah disentuh. Selalu yang diutak-atik adalah persoalan umur, yang tidak ada kaitannya dengan kelembagaan MK, maupun dengan kepentingan publik."
Palguna mengatakan, beberapa hakim konstitusi aktif saat ini belum 60 tahun usianya.
"Kan jadi pertanyaan, bagaimana? Ini nanti akan ditanyakan kepada lembaga pengusul. Kalau hakim yang dianggap terlalu independen, tidak disukai pasti akan di-kick dia. Ini kan akal-akalan namanya," tegasnya.
Lebih lanjut, Palguna menyoroti mengenai wacana pengaturan soal evaluasi hakim konstitusi. Secara tegas, ia menilai hal ini sebagai penghancuran terhadap MK.
"Ini dari mana ini, saya sudah puluhan tahun belajar hukum itu belum pernah menemukan dari mana ilmunya itu ada lembaga pengusul calon hakim yang kemudian dia mempunyai kewenangan untuk mengevaluasi hakimnya. Kalau begini caranya ya sudah lupakan saja. Bagi saya MK itu, ini bukan lagi pelemahan tapi sudah penghancuran (MK). Dan ini hanya digunakan sebagai alat politik saja," tegas eks Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) itu.
Oleh karena itu, Palguna menyerukan dan mengajak publik, khususnya kaum intelektual, akademisi, terlebih para ahli hukum tata negara, untuk melakukan perlawanan terhadap upaya penghancuran MK ini.
"Ya, bagi saya ini bukan sekadar pelemahan tetapi penghancuran (MK)," ucap eks hakim konstitusi itu.