TRIBUNNEWS.COM - Pernyataan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2015-2019, Agus Rahardjo, terkait adanya intervensi dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam kasus korupsi e-KTP yang menjerat mantan Ketua DPR Setyo Novanto atau Setnov telah memasuki babak baru.
Teranyar, Ketua DPR Puan Maharani buka suara terkait adanya peluang interpelasi dalam peristiwa ini.
Namun, ia menegaskan upaya tersebut dikembalikan ke masing-masing anggota dewan karena hal itu merupakan hak.
Dia pun mengungkapkan pihaknya secara tegas tetap menjunjung supremasi hukum yang ada.
"Kami menjunjung supremasi hukum yang ada. Jadi yang kami kedepankan adalah bagaiamana menjalankan supremasi hukum itu secara dengan baik-baik dan benar."
"Bahwa kemudian ada kemudian nantinya ada wacana atau keinginan dari anggota untuk melakukan itu (interpelasi), itu merupakan hak anggota," ujarnya saat berada di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada Rabu (6/12/2023).
Baca juga: Istana Nilai Ada Motif di Balik Pernyataan Agus Rahardjo Soal Intervensi Jokowi dalam Kasus e-KTP
Kendati demikian, Puan tetap menegaskan pihaknya bakal mencermati apakah interpelasi diperlukan terkait adanya dugaan intervensi oleh Presiden Jokowi dalam pernyataan Agus Rahardjo soal kasus e-KTP.
"Kami juga akan mencermati apakah hal itu diperlukan atau tidak. Yang penting bagaiamana supremasi hukum itu bisa berjalan secara baik dan benar," tuturnya.
Jokowi Tak Bakal Pidanakan Agus Rahardjo
Terpisah, Istana lewat Koordinator Staf Khusus Presiden, Ari Dwipayana, mengatakan Jokowi tidak bakal memproses Agus Rahardjo buntut pernyataannya terkait intervensi dalam kasus korupsi e-KTP.
Ari menyebut Jokowi merasa sudah cukup untuk melakukan klarifikasi ke publik dengan menyatakan tidak adanya pertemuan antara dirinya dengan Agus.
"Sampai saat ini belum ada (rencana memproses hukum Agus Rahardjo)," ujar Ari di Kantor Kementerian Sekretariat Negara, Jakarta, Rabu siang.
Ari mengungkapkan Jokowi sebenarnya ingin mengedukasi masyarakat agar tidak mengambil kesimpulan lewat pernyataan sepihak.
"Saya kira kita bisa memahami karena konteks saat ini kan konteks kontestasi politik dalam pemilu sehingga bisa dipertanyakan apa kepentingan di balik ini," tuturnya.