Pun saat ayahnya, Nazar Gumbira meninggal dunia akibat jatuhnya Pesawat Casa 212 Nurtanio pada Januari 1980.
Gumilar yang kala itu masih berusia 12 tahun terpaksa menjadi yatim.
Baca Selanjutnya: Mayjen tni purn frederikus saud tambatua
Sejak itu Gumilar tidak punya figur bapak dan dibesarkan oleh ibu yang berjuang membesarkan ketujuh anak-anaknya.
“Ibu saya jualan di pasar. Karena bapak mendadak meninggalnya (kecelakaan pesawat-red), dia tidak siap ditinggalkan, lain halnya jika sakit kan sudah siap. Ibu lagi makan pagi tiba-tiba ada berita kecelakaan pesawat itu, ibu merasakan seakan langit rumah runtuh,” ujar Gumilar yang juga mantan Ketua Umum IKA SMA Negeri 2 Cimahi.
Menurut dia, ibunya waktu itu bingung mau berbuat apa karena cuma berjualan di pasar harus menghidupi anak yang masih kecil-kecil.
“Hanya satu yang sudah menikah baru setahun artinya kehidupan ekonominya pun masih berat. Saya masih SD, jadi belum ada yang bisa dijadikan pegangan,” kenang Gumilar yang kini menjabat Staf Ahli KSAD Bidang Keamanan dari Terorisme.
Tuhan pun bekerja.
Ketika kesulitan semakin terasa, sekitar tahun 1982, atau 2 tahun sepeninggal ayahnya, Nurtanio memberikan kesempatan kepada para janda korban keselakaan pesawat Casa untuk membuka usaha kantin di Nurtanio.
Hal ini tentu saja mendatangkan perbaikan hidup keluarga.
Pertolongan Tuhan melalui tangan orang di sekitar Gumilar kembali terjadi saat ia lulus SMA.
Baca Selanjutnya: Irjen pol purn djoko susilo
Sadar kemampuan finansial keluarga, Gumilar berusaha mencari pendidikan lanjut yang tidak memungut biaya alias gratis.
Mulai dari Akmil, Ilmu Gizi, Ilmu Pelayaran, hingga keperawatan.
Pilihan jatuh ke Akmil.
Mengetahui anak bungsunya itu mendaftar ke Akmil, sang ibu memberikan secarik kertas yang isinya berpesan agar Gumilar menemui seseorang di Kantor Komando Pemeliharaan Materiil Angkatan Udara (Koharmatau) di Husein Satranegara.